Film Mencari Hilal, Membingkai Keberagaman dalam Keberagamaan
![]() |
poster source: twitter Mencari Hilal |
Perbedaan. Kata tersebut begitu dekat di keseharian, terutama ketika dikaitkan dengan kamus kehidupan ala Indonesia. Jangankan bicara Nusantara yang kaya akan keberagaman, menilik lingkup kehidupan yang lebih kecil seperti sebuah keluarga saja perbedaan itu senantiasa ada, antar personal meski lahir dari genetik yang sama. Perbedaan-perbedaan yang ada ini menjadi sebuah tema besar yang diangkat dalam film Indonesia berjudul Mencari Hilal. Berawal dari perbedaan pendapat antara ayah-anak dalam satu keluarga, lalu perbedaan & perdebatan opini dalam lingkup sosial masyarakat sekitar, hingga perbedaan-perbedaan yang lebih besar lingkupnya. Semakin jauh kita dibawa dalam perjalanan tokoh utama, semakin luas bumi Nusantara yang dilihatnya, semakin kaya kita dibawa pada keberagaman itu.
Adalah Mahmud (Deddy Sutomo), seorang ayah yang sudah beranjak tua yang digambarkan berkarakter saklek dan cenderung konservatif, taat beragama dan tak segan mendakwahi siapa saja yang ditemuinya tidak sesuai dengan ketentuan agama. Berprofesi sebagai pedagang, ia teguh berprinsip menjalankan bisnisnya sebagai ibadah. Banyak pesaingnya memprotesnya karena harga yang ia tawarkan di bawah pasaran. Terlibat perdebatan, pada suatu titik pembicaraan berapi-api tentang ekonomi dan agama, Mahmud tertegun pada suatu informasi yang ditumpahkan di antar kemarahan lawan bicaranya. Tentang sidang isbat para ulama yang memakan biaya hingga 9 Milyar. Informasi ini begitu mengganggunya hingga ia coba diskusikan dengan temannya. Ia teringat kenangan akan tradisi saat nyantri di pesantren, yakni melakukan kirab bersama-sama untuk melihat hilal secara langsung. Terbetiklah sebuah keinginan kuat untuk napak tilas mencari hilal.
Adalah Mahmud (Deddy Sutomo), seorang ayah yang sudah beranjak tua yang digambarkan berkarakter saklek dan cenderung konservatif, taat beragama dan tak segan mendakwahi siapa saja yang ditemuinya tidak sesuai dengan ketentuan agama. Berprofesi sebagai pedagang, ia teguh berprinsip menjalankan bisnisnya sebagai ibadah. Banyak pesaingnya memprotesnya karena harga yang ia tawarkan di bawah pasaran. Terlibat perdebatan, pada suatu titik pembicaraan berapi-api tentang ekonomi dan agama, Mahmud tertegun pada suatu informasi yang ditumpahkan di antar kemarahan lawan bicaranya. Tentang sidang isbat para ulama yang memakan biaya hingga 9 Milyar. Informasi ini begitu mengganggunya hingga ia coba diskusikan dengan temannya. Ia teringat kenangan akan tradisi saat nyantri di pesantren, yakni melakukan kirab bersama-sama untuk melihat hilal secara langsung. Terbetiklah sebuah keinginan kuat untuk napak tilas mencari hilal.
Di sisi lain, hubungan Mahmud dengan anak lelakinya, Heli (Oka Antara), sudah lama memburuk. Saling kecewa terhadap satu sama lain, keduanya lama ta bertegur sapa. Pun ketika suatu hari setelah sekian lama tak pulang ke rumah, Heli tiba-tiba muncul. Itupun tak lain karena urusan kepepet meminta bantuan mengurus visa kepada kakak perempuannya, Halida (Erythrina Baskoro). Sebagai aktivis lingkungan, Heli sedang dalam situasi urgent untuk berangkat ke Nicaragua, dan visa harus jadi segera. Sementara itu Halida tengah khawatir karena Mahmud berkeras pergi melakukan perjalanan mencari hilal meski kondisi kesehatannya tak begitu baik. Halida hanya mau membantu Heli dengan syarat Heli harus mau menemani Mahmud pergi sampai pulang kembali. Suka tak suka, Heli tak punya pilihan selain memenuhi syarat kakaknya.
Maka dimulailah perjalanan mencari hilal itu. Menurut saya, disinilah cerita mulai berkembang menarik. Perjalanan selalu membuahkan pengalaman baru, menawarkan aneka pembelajaran yang ditemui. Terlebih perjalanan ini dilakukan bersama oleh dua orang ayah-anak yang memiliki hubungan yang dingin dan canggung. Dan tersingkaplah perbedaan-perbedaan pendapat antara ayah-anak ini selama petualangan mereka. Sang ayah berkeras untuk menemukan alamat rekannya sesama alumni pesantren dahulu maupun lokasi bukit tempat melihat hilal sendiri, tak mau memberitahukan kepada anaknya kemana mereka menuju sejak awal. Alamat itu sulit dicari karena berbagai hal, terlebih sudah berpuluh tahun lewat, banyak hal berubah dan berganti. Sikap ayahnya yang keras kepala membuat Heli uring-uringan, namun tak berdaya. Perjalanan itu ternyata tidak pasti dan memakan waktu berhari-hari. Didorong rasa gregetan, setelah tahu alamat yang dituju dengan melihatnya diam-diam, Heli langsung saja mengetikkan alamat itu ke google maps di gadgetnya. Alamat langsung ketemu, tapi ternyata salah, nama jalan sama, malah kabupatennya berbeda. Sekali lagi mereka nyasar. "Itu kehendak Allah", kata Mahmud menyinggung Heli yang mendewakan kecanggihan teknologi gadget.
Tak hanya perbedaan pendapat soal cara menemukan alamat, ayah-anak ini berbeda 180 derajat terutama dalam pandangan dan praktik beragama. Mahmud yang taat dan saklek, Heli yang liberal dan bahkan digambarkan tidak shalat & puasa Ramadhan. Dalam perjalanan mereka mengalami berbagai kejadian yang semakin menegaskan perbedaan itu. Mulai dari Mahmud yang menegur sopir bus dan berceramah panjang lebar karena tak berhenti untuk shalat & tidak berpuasa Ramadhan, sampai-sampai sopirnya marah dan menurunkannya di jalan. Hingga bertemu teman lama Mahmud sesama alumni pesantren yang ternyata sekarang menjadi "politikus relijius" (baca: memakai selubung agama untuk kepentingan politik), terlibat konflik masyarakat muslim dengan jamaah gereja yang ternyata sebetulnya berawal dari masalah parkir, sampai menemui praktek budaya Islam tradisi yang menurut Mahmud adalah bid'ah.
Film Mencari Hilal ini membingkai keberagaman beragama masyarakat Indonesia yang kaya. Pertanyaannya, haruskah keberagaman dan perbedaan-perbedaan itu menjadi sumber konflik tak berkesudahan, atukah kita bisa hidup berdampingan dengan toleransi dan damai? Film yang menggelitik perenungan akan bermacam realita yang ada di masayarakat. Menonton kisah petualangan ayah-anak dalam perjalanan mencari hilal ini sekilas mengingatkan saya akan sebuah film Prancis, Le Grand Voyage.
Mengiringi liburan lebaran kemarin, film Mencari Hilal hadir meramaikan khazanah perfilman Indonesia. Film arahan Ismail Basbeth ini diproduksi oleh MVP Pictures, Studio Denny JA, Dapur Film, Argi Film, dan Mizan Productions. Film kedua yang merupakan rangkaian film berlabel gerakan Islam Cinta ini mengetengahkan potret perbedaan dan keberagaman yang mewarnai kehidupan beragama, khususnya Islam, di Indonesia. Menurut saya, film ini lebih baik dari segi pengemasan cerita dibanding film pendahulunya yang berlabel sama, yakni Ayat-Ayat Adinda. Film Mencari Hilal membuka ruang bagi multi-interpretasi di benak penontonnya. Hal ini semakin menguat seiring adegan-adegan ditampilkan mendekati akhir dan memuncak saat ending. Film yang cukup layak untuk diapresiasi.
Penasaran banget sama film ini
BalasHapusSemoga segera tuntas kepenasaranannya ya... :)
Hapusmenarik dari ceritanya
BalasHapusMenarik terutama pas melakukan petualangannya :)
HapusIni film di mana-mana reviewnya bagus. Nunggu tanggal muda buat nonton :D
BalasHapusCepetan, ntar keburu udahan tayangnya :D.
HapusKayaknya seru nih film banyak yang bisa diambil pemikirannya.
BalasHapusCukup menarik, apalagi kalau membuka ruang untuk multi-interpretasi :)
HapusAku belum sempat nonton film ini. Katanya sih bagus. Jadi penasaran hehe
BalasHapusSemoga sempat nonton ya :)
HapusBikin penasaran aja nih film....oke juga sepertinya
BalasHapusCoba aja ditonton dulu :)
HapusBikin penasaran aja nih film....oke juga sepertinya
BalasHapus