3 Buku Memoar Perjalanan Agustinus Wibowo [WW #18]
![]() |
Wishful Wednesday |
Oh, my God...! 2 minggu ini banyak sekali judul-judul buku yang membayang menari-nari di benak, inginnya dimiliki dan dibaca. Ini gara-gara kemarin-kemarin aku sempat main ke kawasan Jl. Merdeka, kebetulan ada 2 agenda #BloggerBDG yang berdekatan tempatnya sama-sama di sekitar sana. Tepatnya gara-gara aku gak bisa menahan diri untuk tidak "lihat-lihat" ke suatu tempat yang seperti magnet untuk dimampiri kalau aku kesana. Gramedia Merdeka. Itu dia. Kebetulan perlu juga sih mampir kesana dalam rangka mencari sebuah judul buku yang ingin kuhadiahkan untuk kado ulang tahun adikku akhir Mei lalu. Dan hari ini waktunya posting Wishful Wednesday, cerita buku-buku idaman di hari rabu. Namun kali ini kutahan dulu deretan judul buku yang masuk wishlist gegara main ke Gramedia itu ya. Sebab sebelum aku main ke Gramedia, sebuah alasan lain sudah mengingatkanku lebih dulu akan buku idaman lain yang sebetulnya sudah nangkring di book wishlistku sejak lama.
Bertemu Agustinus Wibowo. Itu adalah kali kedua aku mendengarnya berbicara. Pertama kalinya bertemu penulis buku memoar perjalanan di daerah konflik ini yaitu sewaktu mengikuti workshop penulisan memoar inspiratif di event Indonesian Reading Festival akhir 2014 lalu. Saat itu Mas AW hanya berbicara singkat saja, karena bukan pembicara di acara itu, hanya ditodong sharing on the spot. Lalu pada 22 Mei 2015 kemarin, Mas AW hadir di Salman ITB pada acara bedah buku Garis Batas.
Bertemu Agustinus Wibowo. Itu adalah kali kedua aku mendengarnya berbicara. Pertama kalinya bertemu penulis buku memoar perjalanan di daerah konflik ini yaitu sewaktu mengikuti workshop penulisan memoar inspiratif di event Indonesian Reading Festival akhir 2014 lalu. Saat itu Mas AW hanya berbicara singkat saja, karena bukan pembicara di acara itu, hanya ditodong sharing on the spot. Lalu pada 22 Mei 2015 kemarin, Mas AW hadir di Salman ITB pada acara bedah buku Garis Batas.
Aku yang mendapatkan info selewat itu di timeline fb langsung excited untuk datang. Sayang seribu sayang, ternyata terbentur agenda lain. Akhirnya aku cuma bisa menyempatkan diri hadir telatan, setelah sekitar satu jam acara dimulai. Hiks... Ketika aku menyimak, langsung kutahu bahwa pembicaraan yang tengah berlangsung sangatlah menarik. Ini bukan sekadar tentang traveling keliling dunia, melainkan lebih dari itu. Ada banyak nilai-nilai dan refleksi kehidupan yang dipaparkan Mas AW yang diperolehnya dari perjalanan ke berbagai negeri yang dilanda konflik itu.
Bedah Buku Garis Batas bersama Agustinus Wibowo di Salman ITB (22/05/2015) |
Di bedah buku itu aku cuma kebagian menyimak sedikit tentang pengalaman Mas AW ketika berada di negeri Afghanistan, keunikan & paradoks yang ditemuinya saat tinggal di camp kelompok radikal di daerah perbatasan Papua Nugini, serta refleksi dari pengalaman masa lalunya sendiri mengalami diskriminasi etnis Tionghoa di masa rezim Soeharto. Setelah seluruh pengalamannya bertualang ke berbagai negeri dan ketiga buku memoar perjalanannya terbit, yakni Selimut Debu, Titik Nol, dan Garis Batas, Mas AW sempat ditanya apa rencana berikutnya? Katanya sih ingin menjelajah Nusantara, menggali akar sejarah bangsa sendiri. Sebab referensi sejarah kita justru banyak ditulis oleh orang asing, macam sejarawan Belanda, Arab, dll. Sejarah yang tertulis itu akan terekam dari perspektif orang lain, yang bisa jadi tidak memahami secara mendalam dan benar-benar kekayaan akar budaya leluhur kita. Makanya Mas AW greget karena bangsa sebesar Indonesia yang kaya akan keberagamannya ini kok yang nulis sejarahnya orang asing saja. Begitu kira-kira. Well, semoga proyeknya sukses. Ditunggu buku berikutnya.
Lah, udah nunggu buku berikutnya aja, padahal aku belum punya satu pun bukunya Agustinus Wibowo. Padahal penasaran dari dulu karena bukunya cukup populer di jagat pembaca Goodreads. Begini nasib ketinggalan berbuku, tiap ketemu penulis yang berarti kesempatan minta tanda tangan di bukunya selalu saja aku belum punya :(. So, kembali ke Wishful Wednesday, buku yang sedang kuidamkan antara lain ya buku-bukunya Agustinus Wibowo ini.
Lah, udah nunggu buku berikutnya aja, padahal aku belum punya satu pun bukunya Agustinus Wibowo. Padahal penasaran dari dulu karena bukunya cukup populer di jagat pembaca Goodreads. Begini nasib ketinggalan berbuku, tiap ketemu penulis yang berarti kesempatan minta tanda tangan di bukunya selalu saja aku belum punya :(. So, kembali ke Wishful Wednesday, buku yang sedang kuidamkan antara lain ya buku-bukunya Agustinus Wibowo ini.
Sinopsis:
"Di sini semua mahal. Yang murah cuma satu: nyawa manusia.”
Afghanistan. Nama negeri itu sudah bersinonim dengan perang tanpa henti, kemiskinan, maut, bom bunuh diri, kehancuran, perempuan tanpa wajah, dan ratapan pilu. Nama yang sudah begitu tidak asing, namun tetap menyimpan misteri yang mencekam.
Pada setiap langkah di negeri ini, debu menyeruak ke rongga mulut, kerongkongan, lubang hidung, kelopak mata. Bulir-bulir debu yang hampa tanpa makna, tetapi menjadi saksi pertumpahan darah bangsa-bangsa, selama ribuan tahun.
Aura petualangan berembus, dari gurun gersang, gunung salju, padang hijau, lembah kelam, langit biru, danau ajaib, hingga ke sungai yang menggelegak hebat. Semangat terpancar dari tatap mata lelaki berjenggot lebat dalam balutan serban, derap kaki kuda yang mengentak, gemercik teh, tawa riang para bocah, impian para pengungsi, peninggalan peradaban, hingga letupan bedil Kalashnikov.
Agustinus Wibowo menapaki berbagai penjuru negeri perang ini sendirian, untuk menyibak misteri prosesi kehidupan di tanah magis yang berabad-abad ditelantarkan, dijajah, dan dilupakan. Menyibak cadar negeri cantik nan memikat, Afghanistan.
[Agustinus] tak ingin hanya menjadi penonton isi dunia. Ia mau terlibat sepenuhnya dalam perjalanan itu. Ia tak sekadar melihat pemandangan, berpindah dari satu tempat ke tempat lain, tetapi juga mengenal budaya dan berinteraksi dengan masyarakat setempat. --Kompas
Afghanistan. Nama negeri itu sudah bersinonim dengan perang tanpa henti, kemiskinan, maut, bom bunuh diri, kehancuran, perempuan tanpa wajah, dan ratapan pilu. Nama yang sudah begitu tidak asing, namun tetap menyimpan misteri yang mencekam.
Pada setiap langkah di negeri ini, debu menyeruak ke rongga mulut, kerongkongan, lubang hidung, kelopak mata. Bulir-bulir debu yang hampa tanpa makna, tetapi menjadi saksi pertumpahan darah bangsa-bangsa, selama ribuan tahun.
Aura petualangan berembus, dari gurun gersang, gunung salju, padang hijau, lembah kelam, langit biru, danau ajaib, hingga ke sungai yang menggelegak hebat. Semangat terpancar dari tatap mata lelaki berjenggot lebat dalam balutan serban, derap kaki kuda yang mengentak, gemercik teh, tawa riang para bocah, impian para pengungsi, peninggalan peradaban, hingga letupan bedil Kalashnikov.
Agustinus Wibowo menapaki berbagai penjuru negeri perang ini sendirian, untuk menyibak misteri prosesi kehidupan di tanah magis yang berabad-abad ditelantarkan, dijajah, dan dilupakan. Menyibak cadar negeri cantik nan memikat, Afghanistan.
[Agustinus] tak ingin hanya menjadi penonton isi dunia. Ia mau terlibat sepenuhnya dalam perjalanan itu. Ia tak sekadar melihat pemandangan, berpindah dari satu tempat ke tempat lain, tetapi juga mengenal budaya dan berinteraksi dengan masyarakat setempat. --Kompas
Garis Batas: Perjalanan di Negeri-Negeri Asia Tengah
![]() |
credit: Goodreads |
Sinopsis:
Penduduk desa Afghan
setiap hari memandang ke “luar negeri” yang hanya selebar sungai
jauhnya. Memandangi mobil-mobil melintas, tanpa pernah menikmati rasanya
duduk dalam mobil. Mereka memandangi rumah-rumah cantik bak vila,
sementara tinggal di dalam ruangan kumuh remang-remang yang terbuat dari
batu dan lempung. Mereka memandangi gadis-gadis bercelana jins tertawa
riang, sementara kaum perempuan mereka sendiri buta huruf dan tak bebas
bepergian.
Negeri seberang begitu indah, namun hanya fantasi. Fantasi yang sama membawa Agustinus Wibowo bertualang ke negeri-negeri Asia Tengah yang misterius. Tajikistan. Kirgizstan. Kazakhstan. Uzbekistan. Turkmenistan. Negeri-negeri yang namanya semua berakhiran "Stan". Perjalanan ini bukan hanya mengajak Anda mendaki gunung salju, menapaki padang rumput, menyerapi kemegahan khazanah tradisi dan kemilau peradaban Jalan Sutra, ataupun bernostalgia dengan simbol-simbol komunisme Uni Soviet, tetapi juga menguak misteri tentang takdir manusia yang terpisah dalam kotak-kotak garis batas.
Petualangan Agustinus Wibowo di buku ini seakan mengajak kita untuk masuk dan melihat sendiri tempat-tempat yang selama ini tersembunyi di peta dunia. – Andy F. Noya
(*)Sebagian tulisan pernah dimuat di www.kompas.com
Negeri seberang begitu indah, namun hanya fantasi. Fantasi yang sama membawa Agustinus Wibowo bertualang ke negeri-negeri Asia Tengah yang misterius. Tajikistan. Kirgizstan. Kazakhstan. Uzbekistan. Turkmenistan. Negeri-negeri yang namanya semua berakhiran "Stan". Perjalanan ini bukan hanya mengajak Anda mendaki gunung salju, menapaki padang rumput, menyerapi kemegahan khazanah tradisi dan kemilau peradaban Jalan Sutra, ataupun bernostalgia dengan simbol-simbol komunisme Uni Soviet, tetapi juga menguak misteri tentang takdir manusia yang terpisah dalam kotak-kotak garis batas.
Petualangan Agustinus Wibowo di buku ini seakan mengajak kita untuk masuk dan melihat sendiri tempat-tempat yang selama ini tersembunyi di peta dunia. – Andy F. Noya
(*)Sebagian tulisan pernah dimuat di www.kompas.com
Sinopsis:
Perjalananku bukan perjalananmu
Perjalananku adalah perjalananmu
Jauh. Mengapa setiap orang terobsesi oleh kata itu? Marco Polo melintasi perjalanan panjang dari Venesia hingga negeri Mongol. Para pengelana lautan mengarungi samudra luas. Para pendaki menyabung nyawa menaklukkan puncak.
Juga terpukau pesona kata “jauh”, si musafir menceburkan diri dalam sebuah perjalanan akbar keliling dunia. Menyelundup ke tanah terlarang di Himalaya, mendiami Kashmir yang misterius, hingga menjadi saksi kemelut perang dan pembantaian. Dimulai dari sebuah mimpi, ini adalah perjuangan untuk mencari sebuah makna.
Hingga akhirnya setelah mengelana begitu jauh, si musafir pulang, bersujud di samping ranjang ibunya. Dan justru dari ibunya yang tidak pernah ke mana-mana itulah, dia menemukan satu demi satu makna perjalanan yang selama ini terabaikan.
"Agustinus telah menarik cakrawala yang jauh pada penulisan perjalanan (travel writing) di Indonesia. Penulisan yang dalam, pengalaman yang luar biasa, membuat tulisan ini seperti buku kehidupan. Titik Nol merupakan cara bertutur yang benar-benar baru dalam travel writing di negeri ini."
—Qaris Tajudin, editor Tempo dan penulis novel.
Ingin sekali punya buku-buku ini. Semoga lekas kesampaian.
So, ini cerita buku idamanku rabu ini. Share juga cerita buku idamanmu yuk!
So, ini cerita buku idamanku rabu ini. Share juga cerita buku idamanmu yuk!
saya sungguh penasaran..belum sempat membelinya nih..semoga ada yang bisa dititipin untuk dibawa ke NY nantinya :)
BalasHapusWajib punya, nih, Mak indah. Semoga ada yg bisa dititipin ya :).
HapusUntungnya pas ke BEC sama ke BIP kemarin saya terburu-buru...jadi ga sempat ke gramed deh.. kalau engga jebol lah dompet nih ^_^
BalasHapusoh, ternyata gak jadi ke Gramed yah. Ada untungnya juga :D.
HapusSaya ngefans banget sama mas AW, Mbak. Asyik ya bisa datang ke workshopnya.
BalasHapusNgefans juga ya Mbak. Sudah baca buku-bukunya dong ya?
HapusIni bukan workshop sih, hanya bedah buku aja. Itu juga sayang nggak bisa dateng nyimak dari awal, hiks...
Asyik ya bisa ikutan workshopnya, mak. Aku dulu pernah satu kereta sama dia pas acara Asean Blogger, tapi ga ngeh kalo dia penulis buku traveling yang best seller. Orangnya humble banget, mak. Dimintain tolong buat motoin asyik aja. Pantes ya bukunya laris, orangnya ringan tangan buat bantuin orang lain. :D
BalasHapusWah, keren ikutan acara Asean Blogger, Mbak. Hehe, gak ngeh toh. Iya, orangnya kelihatan asyik diajak ngobrol & diskusi juga. Aku pengen banget deh buruan baca bukunya :D.
HapusAmin semoga saja nanti bisa punya buku-buku itu :)
BalasHapustitik nol lead nya keren.., penasaran baca jadi nya
BalasHapusmenasarani ya...
Hapussemoga kesampean ya mas punya buku-buku itu
BalasHapusDi event Makassar International Writers Festival 2 atau 3 tahun lalu, Mas AW ini ada Mak ... tapi saya gak ikut sesinya ... nyesal .. hiks. Sy sempat melihatnya dari jarak dekat tapi sama2 sedang menyaksikan sesi penulis lain.
BalasHapusKeren ih di Makasar banyak event international writers segala... Jadi envious deh.
Hapussaya br pernah baca selimut debu, tp ga beres :D
BalasHapusWah, kenapa tuh ya gak diberesin? :D
HapusDari dulu, pengin baca Titik Nol, belum kesampaian juga T.T
BalasHapusSama, Teh :(
Hapussaya belum baca satupun bukunya *ketinggalan banget, nih saya :D
BalasHapusSamaaa hihi... :D
Hapus