Sosok Ibu Lain di Tempat Asing

Hari Ibu. Tiap 22 Desember tiba biasanya aku galau begitu rupa. Di sana-sini (terutama sosmed) senantiasa gegap-gempita dengan berbagai ucapan & event istimewa bertema sama. Aku biasanya galau karena rasa greget yang mengemuka. Greget karena aku merasa tak berdaya. Tak berdaya karena rindu pada ibuku yang sudah tiada, juga karena kehilangan kata-kata meski betapa inginnya aku menuliskan sesuatu yang istimewa. Greget karena aku juga ingin seperti mereka, yang bisa mengungkapkan cinta atau sekadar taburan kata-kata buat ibu tercinta. Saat aku ingin menulis puisi pun, biasanya kata-kata mendadak sirna dari benakku. Saat puisi itu menjelma sekalipun, biasanya aku tak puas sebab mendadak semua yang kutulis menjadi klise, tak sanggup mengungkapkan apa-apa. 

Tentang Ibu, puisi yang kuposting di Hari Ibu 2009
Ah, bukankah semua ini sudah kutulis setahun lalu, saat aku memutuskan untuk menuliskan sesuatu yang berbeda, bukan puisi melainkan sebuah tulisan ringan tentang hal-hal berkesan nan fun tentang ibuku? Setahun lalu aku menuliskan kenangan tentang ibuku sendiri dalam "Mengenang Ibu". Hari ibu kali ini ada ajakan dari para emak blogger untuk menulis bareng-bareng tentang seseorang (bukan ibu kandung) yang kita pandang sebagai sesosok ibu yang mengesankan & dekat dengan keseharian kita.

Posting blog serentak Hari Ibu 2014, presented by KEB
Tiap kali merujuk "sesosok ibu yang bukan ibu kandung", pikiranku selalu saja teringat pertama kali pada sosok nenekku. Tadinya aku hendak menulis tentang nenek yang di mataku sungguh sesosok cerminan seorang ibu. Namun kemudian aku teringat, aku sudah pernah menuliskannya. Meski tulisan itu bertema sosok patriot dalam kehidupanku, namun tulisan itu sangat mencerminkan dirinya yang kupandang sebagai sesosok ibu di mataku. Kubaca kembali tulisan itu, di sana kuceritakan tentang episode masa kecilku yang sering dibawa nenek ke pengajian ibu-ibu, lalu seperti dejavu, Ramadhan lalu aku kembali ikut pengajian macam itu lagi bersamanya.

Kenangan ikut pengajian ibu-ibu macam itu mendadak kembali melintas di benakku ketika malam ini aku mendapati diriku terdampar di sebuah pengajian ibu-ibu yang rata-rata tak kukenal. Jika dulu bersama nenekku pengajian ibu-ibu itu berisi wajah-wajah familiar, ibu-ibu & nenek-nenek warga kampungku sendiri, kali ini sama sekali lain. Di sini wajah-wajah itu asing, dan aku berada begitu jauh dari kampung halamanku. Sebagian kecil dari wajah-wajah itu sudah kutemui seminggu sebelumnya, sebab ini kali kedua aku mengikuti majelis ta'lim  itu. Siapa yang mengajakku ikut pengajian ibu-ibu kompleks itu adalah sosok ibu yang ingin kuceritakan kali ini. Seorang ibu yang sama sekali tak ada ikatan keluarga denganku.

Agak sulit bagiku jika harus menceritakan sesosok ibu dari kalangan keluarga selain nenekku. Sebabnya aku jarang sekali pulang kampung. Aku juga kaku, tak pandai dekat-dekat sedemikian rupa dengan kerabat & saudara. Herannya, meski aku kaku (& tak romantis :p), di perantauan kerap kali aku menemui "sosok ibu" yang kurasa cukup berbagi perhatiannya kepadaku. Dan aku bersyukur untuk itu (meski aku bukan orang yang pandai mengungkapkan terima kasih secara langsung). Bertahun-tahun menjadi anak kos di perantauan, banyak sudah aku berpindah-pindah tempat kos. Aku menemui pula ibu-ibu kos yang beragam. Di antaranya ada yang "cukup menyebalkan", "cukup baik", "cukup perhatian", "baik banget", ada pula yang "cukup hubungan bisnis saja". Alhamdulillah di antara yang beragam itu aku banyak mencicipi ngekos dengan rasa kekeluargaan, di mana ibu kosnya perhatian selayaknya sesosok ibu, tak cuma peduli perkara transaksi sewa semata. Sosok ibu yang kuceritakan ini adalah salah satu di antaranya.

Kadang aku berpikir, sungguh menakjubkan bagaimana aku tinggal di sini, bagaimana aku bisa mengenal orang ini. Kota ini adalah tempat asing bagiku. Anggap saja aku sendirian di sini, tanpa siapa-siapa selain teman-teman & rekan kerja. Pertama kali datang ke kota ini, aku tak tahu bagaimana aku akan tinggal. Yang jelas kontrakan di daerah sini tak ada yang murah (entah kalau kontrakan yang kumuh di pinggiran, yang melewatinya saja aku ogah). Kalau ngontrak secara "konvensional", jelas-jelas gajiku takkan memadai untuk itu. Namun di sinilah aku, ngekos di kamar yang ukurannya cukup luas untuk 2 orang, tidak kumuh, dengan harga sewa yang kurang dari setengah harga kontrakan lain di daerah sini. Bersih, tanpa harus bayar listrik, air, dll. Air minum galon pun disediakan, & sering juga dibagi jatah makan.

Ibu kos ini memang senang berbagi. Belakangan ia mengakui, ia tak niat-niat amat menjadikan satu ruangan dari rumahnya ini sebagai kontrakan. Alasan utama ia menyewakannya adalah ia butuh teman. Saat pertama kali aku datang, dirinya belum lama ditinggal pergi oleh almarhum suaminya. Ia masih punya anak lelaki bungsu yang tinggal bersamanya, hanya saja bekerja kantoran yang pulangnya malam. Banyak orang berniat ngontrak disini, tetapi ibu ini tak sembarang mengiyakan, ia punya kriterianya sendiri. Sebagai anak kos yang menerima begitu banyak kemurahan hatinya, sesungguhnya aku merasa tak enak. Aku tak bisa membalas kebaikannya. Aku juga tak pandai terbuka mengungkapkan terima kasihku. Dan apa yang disebutnya "teman", aku sama sekali bukan orang yang cerewet & bisa sering mengobrol lama dengannya. Syukurlah ia tak kekurangan teman ngobrol, sebab dalam seharian ada saja tetangga yang mampir ke warungnya. Rupanya ia hanya butuh "teman" di rumah yang membuatnya merasa tak sendirian.

Pernah sekali-dua kali malam weekend aku diajaknya jalan-jalan belanja ke pasar & swalayan, jalan kaki & naik angkot. Ketika aku menemaninya belanja, membantu membawakan belanjaannya, pikiranku agak sedikit mengembara. Aku tak pernah melakukan ini sebelumnya. Serius. Agak ganjil rasanya aku berada disini, di kota asing, menemani seorang ibu yang juga asing berbelanja. Bukan apa-apa. Aku hanya merasa aneh karena... Aku begitu jauh dari kampung, dan rasa-rasanya hampir tak ada kenangan tentangku menemani ibuku sendiri berbelanja. Aku punya imajinasi aneh, seandainya orang yang kutemani belanja ini adalah ibuku, atau nenekku... Mungkin itu hanya rindu, entahlah. Aku beberapa kali menemani nenek belanja di pasar. Tapi aku belum pernah sekali saja menemani nenek berbelanja seperti ini, di swalayan... Aku bertanya-tanya, mungkinkah aku masih memiliki kesempatan itu? Sebab nenekku sudah tua sekarang, dan jauh nun di kampung... *Hff... Apa aku aneh? Berbelanja saja pakai berimajinasi kemana-mana... Heu...

Apa pun, yang membuatku terpikir untuk menceritakan ibu kos ini tak hanya karena itu saja. Apa aku sudah menyebutkan,  ia memberiku begitu banyak kelonggaran soal bayar sewa? Mungkin ia tahu gajiku tak seberapa. Ia membebaskanku untuk tak usah membayar kos jika aku sedang berkantong kempes. Ya ampun... Sudah dikasih murah & sebagainya, masih memungkinkan pula untuk gratis. Tentu saja aku suka gratisan, tapi ini gila aja... Aku tak mungkin numpang di rumah orang begitu saja, kan? Aku ingat lebaran kemarin, Si Ibu menolakku bayar kos sebab lebih baik aku pakai uangnya buat mudik. Ya ampun... Dan aku tak pandai berterima kasih :(. Dari semua orang yang ada di kota ini, begitu menakjubkan Allah menempatkanku di rumah ibu ini T_T.

Kini detik-detik pindah dari sini sudah kian merapat. Aku tak tahu harus merespon bagaimana, ketika kubilang, "Bu, hanya seminggu lagi ya...". Lalu jawabnya, "seminggu lagi boleh, sebulan, 2 bulan lagi juga boleh... Kalau kamu gak ada uang buat bayar ya nggak usah bayar...". Haduhhh... Gusti, sulit dipercaya bisa-bisanya aku bertemu orang seperti ini, di kota asing, di masa yang entah ini.

Terima kasih, Tuhan, telah menitipkanku pada sosok-sosok ibu yang lain selepas ibuku pergi. Ibuku yang pergi memang takkan pernah tergantikan. Namun tetap saja aku bersyukur bahwa sosok ibu itu tak hanya seorang. Ia menjelma pada kelembutan hati setiap perempuan.
***
Di Persinggahan, 2012

Komentar

  1. Aaah baik sekali ibu itu, Mak. Berkah banget bisa tinggal bersama beliau. Dinikmatin saja, jadi anak yang baik bagi beliau. Pasti akan banyak hikmah kehidupan yang bisa dipeajari dari beliau, jangan sungkan terus. Etapi susah ya, orang baik memang suka bikin sungkan.

    Ibu mertua saya juga kayak begini lho baiknya. Ada satu keluarga nempatun rumahnta selama ibu mertua di Papua - menemani anaknya tapi sekeluarga itu gak ngontrak, gratis. Itu sudah berarti banyak buat ibu karena ada yang memperhatikan/mengurus rumahnya :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. hadeuh typo ... maksudnya: nempatin rumahnya :))

      Saya tadi berpikir andai satu kota dengan ibu mertua saya, bisa jd beliau pun begitu sama dirimu :)

      Hapus
    2. Hm, iya Mak... Gimana ya... Aku bersyukur banget dlm hati, sementara yg terucap ya kalimat terima kasih biasa saja. Duh, dasar aku ya :D... Iya, meski kadang aku tak bilang apa-apa, aku juga tentu belajar banyak hal dari yang kualami ini.

      Asyik dong Mak, punya mertua sebaik itu. Mudah2an nanti aku dapat mertua yg baik juga... *eh :p

      Hapus
  2. Hihi. iya yah,,, aku jadi flashback.,. macem-macem ibu kos sifatnya. Dan aku juga pernah dapet ibu kos yang baik bangett

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hehe, gara-gara menulis sambil merenungkan tentang ini, aku juga jadi kepikiran ingin menuliskan pengalaman ngekos di rumah ibu baik yg lain (tentu dengan cerita uniknya sendiri).

      Hapus
  3. Alhamdulillah... suatu anugerah memiliki ibu kos yg baik hati ya mak...

    BalasHapus
    Balasan
    1. Betul, Mak Santi... Aku kerap takjub sendiri :)

      Hapus
  4. Ikut terharu saya mak :'( Masya Allah, ibu itu benar2 baik ya, dirimu beruntung bisa kenal dengan beliau, sebab gak banyak orang seperti itu :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya ya, beruntung juga daku. Di jaman itung2an BBM naik ini, Alhamdulillah masih ada yg seperti ini :)

      Hapus
  5. terharu mak bisa ketemu sama orang sebaik itu. apalagi di perantauan ya, yang bisa dibilang kita orang asing. semoga Allah melimpahkan rezeki untuk ibu itu.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya Mak. Kdg tetangga2nya heran, dikiranya aku mantu atau sodaranya, diiyain aja padahal mah org asing :D. Amiin... Saat ini baru bisa mendoakan, semoga Allah yg membalasnya :)

      Hapus
  6. Beruntung skali bisa bertemu ibu seperti itu..

    Baca tulisan ini bikin saya keinget lagi, waktu belanja bareng sm ibu saya (soalnya waktu kecil belanjanya bareng tiap hari) :D

    BalasHapus
    Balasan
    1. Nostalgia ya Mbak. Mbak juga beruntung sekali, aku justru cuma bisa bayangin seandainya aku bisa belanja bareng ibu seperti itu... Sama2 menyiapkan keperluan dapur, misalnya. Terus bereksperimen bareng di dapur... *Berkhayal mode on

      Hapus
  7. alhamdulilah ya, ikut terharu bacanya...
    puisinya ga klise kok, keren :)

    BalasHapus
  8. wah beruntung banget punya ibu kos sebaik ini, Mbak :)

    BalasHapus

Posting Komentar

Tinggalkan jejakmu kala mampir di sini

Popular Posts

Mencapai Impian dalam Mengelola Keuangan Secara Efektif dan Efisien

Mozaik Bandung: Liburan yang Kacau & Jalan Panjang ke Pondok Hijau

25 Coffee & Kitchen, Cafe Asyik di Arcamanik, Bandung Timur