Episode Hujan, Puisi, & Cerita-cerita Alakadarnya


Banyak sudah aku menorehkan kata-kata beraroma hujan. Aku kerap kali meminjamnya entah untuk analogi, metafor, sekadar numpang puitis, atau sekadar membincangkannya sebagai tema celoteh biasa. Aku tak tahu ada apa dengan hujan, hingga ia demikian favorit sebagai model lukisan yang membingkai makna dalam goresan puisi, atau model yang lenggak-lenggok cantik di bibir para penyair. Bahwa hujan sejatinya memang puitis, aku percaya itu. *Dan apakah yang puitis dari seramnya gemuruh guntur, atau badai, juga banjir yang dikirim bersama hujan? Kukira, bagiku puitis itu tak sama dengan sekadar romantis. Seperti cinta. Ia begitu misterius, magis, menyimpan teka-teki, kenangan, ketakutan, kerinduan, kesedihan, dan melahirkan banyak ragam cerita. 

Episode hujan telah membingkai banyak cerita dengan beragam rasa. Aku sampai kesulitan mau menuliskan yang mana, mulai dari mana. Ada kenangan sedih, gembira, nano-nano, atau pengalaman biasa-biasa. Episode hujan yang paling familiar barangkali sekadar becek-becekan, basah kehujanan di jalan, termenung berteduh sembari menunggu reda, berlindung mencari kehangatan di balik selimut, secangkir kopi, juga menumpahkan kata-kata di depan laptop. Yang jelas, banyak cerita episode hujan yang mengiringiku menulis. Puisi-puisi yang kuposting di blog ini, misalnya.
Rindu Cerita Lalu, 2007 & Rintik Hujan di Balik Jendela, 2012

 Tentang Hujan & Kata-kata...
Banyak kali aku meminjam hujan untuk puisi, bukan berarti aku sekadar ikut-ikutan. Memang benar aku menyukai puisi Hujan Bulan Juni-nya Sapardi, misalnya. Juga Kasidah Hujan-nya AZN. Secara pribadi, aku sudah mengakui kepuitisan hujan itu sendiri. Meski begitu, suatu kali ada saat aku renggang & tumpul akan puisi. Aku memandang hujan tak seistimewa biasanya lagi. Itu tertuang pada penggalan puisiku yang aneh ini:
“Dan rinai hujan tak lagi misteri
yang biasa mengurungku dalam hening teka-teki
kenangan akan tembang lama yang bermuara
pada bahasa musik kita yang purba.
Entah pada satu titik yang mana
embun pagi tak lagi kristal
yang menampung senyuman kita
...”
(Rinai Hujan di Lain Waktu, 2013)

Tapi jika kubilang aku sudah bosan berpuisi bersama hujan, itu mungkin bohong. Buktinya, setelah itu lagi-lagi kupinjam hujan buat menulis puisi. Entahlah, diksi-diksi yang tercipta dari kata/suasana hujan menolongku untuk mengungkapkan hal-hal sulit, semisal saat menggambarkan rumitnya “Teka-teki Air Mata". Juga saat aku kesulitan mengungkapkan kata-kata kala menulis puisi tentang rinduku pada ibu, seperti yang aku curhatkan di Hari Ibu kemarin. Ajaibnya, diksi (dan suasana) hujan menolongku dari kemandegan kata-kata, sehingga aku bisa cukup lega atas puisi yang  tercipta. Ya, gara-gara suasana hujan, 1 puisi akhirnya tercipta juga di Hari Ibu kemarin ^^. Diikutkan kuis, tapi gak menang :D. Tapi saat aku menulisnya, sempat nangis :D.

Yang paling mengesankan dari semuanya adalah tulisan celoteh yang kutulis tentang perasaan dan pemaknaanku mengenai hujan. Tulisan itu berjudul “Hujan & Suasana”. Itu adalah ekspresi kejujuranku tentang hujan. Bukan metafor, melainkan sebagaimana adanya, seperti yang kubilang di sana, hujan adalah “misteri Tuhan”,  “teka-teki Tuhan”. Tulisan itu lahir, aku yakin, ketika di luar  sana suasana sedang hujan. Aku menulisnya dengan penghayatan, dari hati kecilku yang terdalam. Menjadi berkesan karena sampai saat aku menulis ini, tulisan itu paling banyak dikunjungi sepanjang waktu, menurut yang terekam oleh statistik blogku (yang pengunjungnya belum seberapa itu).

Pernah pula aku menuliskan perenungan yang serupa tentang hujan di tulisanku yang entah apa genrenya itu (cerpen?). Kuberi judul ia dengan “Pesta Hujan & Bualan”. Sedikit kukutipkan ungkapan tokoh “kau” di sana:
“Pesta kita adalah pesta hujan, tempat tetabuhan magis mengumandangkan pertanyaan-pertanyaan. Sudah kubilang ini pesta eksklusif, di mana kita menjadi tamu kerhomatan. Kita merayakan keheningan dan kesepian kala terperangkap dalam tetes-tetesnya yang mengisolir. Kita jadi menjenguk ke dalam diri sendiri, dan menumpahkan kejujuran tersembunyi yang biasa tertutup-tutupi. Kita begitu dekat dengan hujan seperti kawan lama. ...”
***
Cerita-cerita Bersama Hujan...
Sebenarnya, jauh sebelum itu aku pernah pula menuliskan cerita “Tentang Hujan yang Menemaniku”, sebuah postingan tahun 2007 yang ketika aku baca lagi kok kesannya “ababil” gitu ya, hehe. Tulisan itu diawali dengan pertanyaan-pertanyaan tentang hujan, makna apa yang tersimpan? Sembari menduga-duga jawabannya sendiri. Di sana ada cuplikan 3 episode hujan yang berbeda. Episode hujan yang ini membuatku mesem-mesem mengenang pengalaman masuk kelas kuliah habis kehujanan.
“Hujan….!!! Lalu aku pun basah, sepatu basah, kaos kaki basah, baju basah, tas pun basah… Jalanan becek, genangan air di mana-mana… Olala… kala deras begini, apalah arti sebuah payung? Dan, kuliah 2 jam tanpa nyaman. Basah, dingin, duduk manis dengarkan penjelasan tentang teori ikatan valensi elektron, orbital-orbital yang terlibat, geometrinya, nentuin persamaan gelombang yang paling cocok, bla… bla… Gubrak…”

Hehe, ternyata hujan yang ini merusak konsentrasi :D. Episode hujan berikutnya masih bikin ribet, tapi ada nuansa melankolisnya.
“Hujan…!!! Lalu aku pun tak peduli, terobos, payung ga cukup, basah, mau tak mau harus sampai di lokasi tujuan. Allahumma shoyyiban nafi’a… Da ga boleh ngedumel loh ya! Kala pulang, hujan masih… sudahlah basah sekalian… sini-sana pada becek… Enjoy aja hujan-hujanan. Yang penting cepet sampe di kostan. Kedinginan, capek habis ujian & nyiapin presentasi, belom makan, lalu ada lagu Satu Rindu-nya Opick feat. Amanda yang mengingatkanku akan hujan yang pertama.”

Hujan pertama yang dimaksud adalah episode hujan yang melow gitu, bersetting pemakaman.
“... Suasana pemakaman dah beda rupanya. Tak peduli, yang penting nyampe di makam bunda tercinta. 
Doa-doa… Dan hujan…
Gerimis pun luruh. Tanah pun basah. Nisan pun basah. Aku pun basah. Hatiku pun basah. Lalu doa pun terputus sampai di sini. Tapi do’aku untukmu takkan terhenti mengalir sampai disini.”

***
Episode Luka Bersama Hujan....
Baru sedikit episode hujan yang terceritakan. Aku masih punya yang lain yang menyimpan kesan mendalam. Salah satunya ada yang menyimpan luka, sebab kala turun hujan besar itu, aku tengah sangat ingin melarikan diri dari tempat yang mengurungku dengan kata-kata orang-orang yang menyedihkanku dan menyudutkanku. Mereka hanya berhenti setelah menyadari aku susah-payah menahan tangis, sampai harus sembunyi di kamar mandi. Gara-gara hujan besar itu, aku jadi tertahan di sana lebih lama. Aku harus menunggu hujan deras reda di beranda, bersama kesulitanku menahan jatuhnya air mata. Itu kenangan menyakitkan yang sudah lama, tapi entah kenapa waktu tak jua membuat sakit hatiku lupa :(. Seandainya saat itu aku berlari saja ke dalam derasnya hujan, bakal jadi adegan dramatis sepertinya... :p.
***
Episode Hujan Nano-Nano di Jogja...
Cerita episode hujan yang agak istimewa plus nano-nano rasanya kutemui saat aku berlibur di Jogja. Waktu itu libur akhir tahun 2012, aku mengunjungi teman lama yang sudah 11 tahun tak jumpa. Banyak cerita hujan di sana, sebab memang kala itu musimnya. Sewaktu berkunjung ke Pantai Wonosari, kami menempuh perjalanan bermotor. Hari begitu cerah, namun pulangnya hujan mengguyur tanpa ampun, lengkap dengan halilintar yang bunyinya memekakkan telinga. Perjalanan begitu jauh, sehingga akhirnya kami menerobos hujan yang tak henti-henti.  Jika perginya menanjak, pulangnya jalanan menurun, lengkap dengan licin karena hujan. Kebetulan (sialnya) aku dibonceng oleh seorang yang tak begitu pandai berkendara motor (& ceroboh), gara-gara tak ada orang lagi yang bisa dimintai untuk mengantar. Ia biasa sekadar mengantar ke tempat-tempat dekat, tak pernah sejauh itu. 

Pantai Wonosari. Indah, cerah... Siapa sangka ada cerita hujan nano-nano sepulangnya dari sana...

Hasilnya? Sepanjang perjalanan aku terus was-was. Bahkan tanpa hujan sekalipun, motor yang kutumpangi kerap hendak menabrak motor di depan. Bayangkan saja ditambah hujan, ya ampun... Bayangan-bayangan mengerikan berkelebatan di benak. Dan memang, akhirnya motor yang kutumpangi nyeruduk mobil di depan! Tak ada yang cedera (syukurlah), tapi mobil itu yang cedera (sedikit). Disuruh ganti rugi sama empunya.  Kepanikan & shock membayang di matanya. Aku pun begitu, tapi tak bisa apa-apa. Setelah mengganti alakadarnya, perjalanan yang masih jauh mesti dilanjutkan. Tambah sial karena temanku di motor yang lain entah sudah jauh tak terlihat jejaknya. Walhasil, perjalanan pulang selanjutnya bertambah horor lagi, karena aku takut ia tambah tak konsentrasi mengemudi. Sepanjang jalan, “Ya Allah, akankah aku berakhir tergeletak di jalan di suatu daerah di Jogja yang demikian jauhnya dari rumah ini?” Aku sudah membayangkan yang seram-seram, sambil terus berdoa sepanjang jalan yang sepertinya tak sampai-sampai, dalam keadaan kuyup dan kedinginan.

Masih di Jogja, kali ini aku terperangkap hujan di sebuah dataran tinggi yang terasa jauh dari mana-mana. Kami bertiga saja, perempuan semua, terdampar berteduh di sebuah gubuk di antara perkebunan jambu mete di atas sana. Di dekat kami ada pemuda pelancong yang tengah berteduh juga. Di gubuk yang lain ada banyak bapak-bapak. Aneh rasanya mengalami ini. Tempat ini begitu asing, jauh dari keramaian, jauh dari rumah, namun di sinilah aku, bersama teman yang 11 tahun lamanya tak ketemu & orang-orang asing itu. Ada ketakutan, tentu saja. Halilintarnya dahsyat. Khawatir bagaimana pulangnya, takut hujan tak pernah reda. Bagaimana bisa sampai di sana adalah perjalanan yang juga ganjil. Maksud hati ingin berwisata kebun & olahan buah mete, ternyata musimnya tak tepat. Akhirnya hanya jalan-jalan saja, jalan kaki, menyusuri Desa Wisata Imogiri. Sudah gitu masih penasaran dengan perkebunan metenya, maka akhirnya terus saja berjalan jauh, tanya sana-sini, hiking menempuh jalanan mendaki yang tak banyak orang lewati. Tak tahulah kami berjalan sudah berapa kilo. Jadi di situlah kami, menunggu hujan deras mereda di sebuah gubuk di ketinggian entah berapa, jauh dari mana-mana.

Eh, ya ampun... Keasyikan cerita ternyata sudah panjang. Yang jelas, episode hujan di Jogja itu memang istimewa begitu dikenang. Saat itu sih aku menyayangkan, sebab niatnya liburan ya inginnya hari yang cerah. Gara-gara hujan, aku juga jadi lebih lama di Jogja daripada yang direncanakan. Aku cuti cuma 3 hari, eh molor jadi 5 hari. Sebabnya? Baju-baju jemuran kehujanan gak kering-kering, hehe... Ada-ada saja.
***
Ah, Hujan... Tiap episode turunmu aku bertanya-tanya apa gerangan yang kau simpan... Mungkinkah kau menyadari  berjuta misteri Tuhan, pada rahmat yang dititipkan kepadamu...?

Mungkin kau hanyalah latar. Mungkin kau hanyalah saksi. Mungkin kau hanyalah basah. Mungkin kau hanyalah dingin. Mungkin kau tidaklah hanya. 

*Tulisan ini diikutsertakan dalam A Story of Cantigi's First Giveaway

http://www.fredysetiawan.com/2014/11/first-giveaway-cerita-bersama-hujan.html

Komentar

  1. Saya suka saya suka (memey mode ) salam aja yach

    BalasHapus
  2. Wih, banyak banget cerita tentang hujan ya mbak ada suka dan duka ya :)

    BalasHapus
  3. I looooveee hujaaan.
    Pengin ikutan GA ini juga, tapiii lagi stuck gak bisa nulis yg mellow2 :))
    bukanbocahbiasa(dot)com

    BalasHapus
    Balasan
    1. Ya kan gak harus yang melow2 kali, Mak... Hehe :D

      Hapus
  4. cerita tentang hujannya beragam sekali ya mbak :)

    BalasHapus
  5. Jogja memang sedang hujan melulu nih, pakai angin segala :(

    BalasHapus
    Balasan
    1. Sekarang juga emang sedang musimnya ya... Cerita saya tadi tuh pergantian th 2012 :)

      Hapus
  6. wow... puitis sekali...
    banyak bgt episode bersama hujannya...
    saya ga pernah suka hujan, jd yg diinget cmn basah & banjir :D

    BalasHapus
    Balasan
    1. Ehehe, banyak... Yaah, sayang kalau yg diingat cuman itu :)

      Hapus
  7. hujan memang membuat suasana jadi adem ya Mbak :)
    tapi aku suka takut kalau hujannya disertai dengan angin kencang dan petir :(

    BalasHapus
    Balasan
    1. Kadang gak cuma adem, juga menggigilkan. Aku jg suka takut, Mak... :)

      Hapus
  8. hujan dan kata2nya makjleb banget ya :)

    BalasHapus
  9. Komentar ini telah dihapus oleh administrator blog.

    BalasHapus

Posting Komentar

Tinggalkan jejakmu kala mampir di sini

Popular Posts

Novel Milea: Suara dari Dilan

The Lorax Film: Kisah Kota Plastik Tanpa Pohon

Berguru kepada Emak-emak KEB