Nenek (Ibu), Patriot Kehidupanku
Selama bertahun-tahun kehidupanku, dunia kecil di rumahku dihuni oleh 5 orang bidadari. Ibuku, aku, adikku, adik kecilku, dan nenek. Sebelum kami semua berpencaran, 5 bidadari ini menghuni rumah yang sama. Ini adalah sebuah cerita kenangan tentang perjalanan waktu yang ditempuh oleh bidadari terakhir: nenekku. Aku memanggil nenek dengan sebutan "ibu", begitu juga adik-adik & sepupuku di desa. Cucu-cucunya ini ikutan para orang tuanya memanggilnya ibu. Aku tak ingat mengapa. Yang jelas sosok nenek memang sosok ibu sejati, yang darinya pelajaran hidup dapat kami gali sedalam-dalamnya. Kepadanyalah tempat favorit anak-anak berikut cucu-cucunya kerap memohon doa. Entah atas usaha mencari rejeki, doa keselamatan perjalanan, ikhtiar cita-cita, sampai yang sibuk dengan ujian-ujian sekolah. Nenek memang seorang yang hangat dan dekat dengan cucu-cucunya. Apalagi aku & adik-adikku, yang sejak kecil diasuhnya & satu rumah dengannya. Kala Alm. Ibuku sibuk berdagang di pasar dahulu, neneklah yang berperan menggantikannya merawat & mengasuh kami di rumah.
Menyimak perjalanan hidupnya, bagiku nenek adalah sosok patriot dalam kehidupanku. Patriot dalam artian yang tak terbatas pada nasionalisme & kepahlawanan, melainkan mengerucut pada jiwa patriot di lingkup kehidupan keluargaku. Pengertian patriot bisa beragam & subyektif dari sudut pandang masing-masing pribadi. Sebagaimana dikemukakan dalam catatannya Mbak Prit di blognya, Api Kecil, semua orang punya sosok patriot dalam kehidupannya. Tak harus mereka yang ikut berperang berdarah-darah, namun dimensinya bisa meluas. Sosok-sosok yang membangunkan kita kala terjatuh, "yang membuat kita selalu belajar, bertahan dan memperjuangkan hidup dengan jujur serta ikhlas. Mereka adalah pelangi yang datang seusai badai."
Nenekku entah lahir tahun berapa, aku tak terlalu yakin tepatnya. Yang jelas, nenek pernah bercerita bahwa ia mengalami masa-masa perang pasca kemerdekaan di masa kecilnya. Ia masih menemui penjajah Belanda di tanah air ini, meski aku tak diceritakan detailnya seperti apa. Sebagai perempuan kecil di masa itu, nenek tidak mengenyam pendidikan sekolah. Nenek tidak bisa menulis, meski bisa membaca. Hingga kini, segala keperluan menulis nenek meminta bantuan orang di sekitarnya. Untuk keperluan tanda tangan, nenek selalu mengandalkan cap jempolnya. Meski demikian, sungguh menakjubkan apa yang telah nenek lakukan untuk anak-anaknya. Entah bagaimana, nenek punya semangat & tekad yang tak biasa dibandingkan dengan perempuan di sekitar pada umumnya, pada jamannya.
Rasanya sudah lama sekali sejak nenek mulai berceletuk bahwa umurnya sudah bonus, alias sudah melebihi usia Rasulullah SAW ketika wafat. Usianya kini mungkin sudah lewat 70. Jika nenek lahir sekitar tahun 40-an, mungkin sekira tahun 70-an atau 80-an jauh sebelum aku lahir nenek sudah menjadi janda muda, single parent beranak 6. Sesungguhnya nenek memiliki 9 anak, 3 di antaranya meninggal semasa kecil. Keluarga besar. Saat itu belum ada KB. Ketika ditinggal Alm. Kakek, anak-anaknya masih kecil & remaja. Bisa dibayangkan bagaimana beratnya beban yang dipikulnya. Selama bertahun-tahun, nenek banting tulang kesana-kemari berjuang sendiri mencari nafkah untuk anak-anaknya berikut pendidikannya. Tetangga-tetangganya menggosipkannya di pasar. Ia tak peduli. Sebagai seorang janda muda, berparas ayu pula, nenek yang kerap bepergian untuk urusan dagang membuat para tetangga menggosip skandal yang tak benar adanya. Belum lagi godaan dari para pria yang tertarik kepadanya. Nenek bercerita, banyak pria meminangnya. Tak satu pun yang nenek terima. Nenek lebih memilih melajang & berjuang sendirian. Sejak itu hingga kini beranjak senja. Aku tak tahu, mungkin inilah hati wanita yang sebagaimana sering orang bilang, setia pada satu suami. Bertahan hingga ditinggal pergi. Tak tergoda oleh bujuk rayu, prospek masa depan cerah, apalagi sekadar gombalisme :D.
Katanya dulu nenek sibuk berdagang. Kelontongan, ikan asin, lalu belakangan jualan kopi sangrai. Entah energi & inspirasi dari mana, nenek punya tekad mencengangkan untuk keperluan sekolah anak-anaknya. Pada masa itu, warga kampung kami masih sangat jauh dari visi pendidikan tinggi. Entah bagaimana, ketika para tetangga tak mengindahkan urusan pendidikan anak, nenek berjuang sendiri bertekad menyekolahkan anak-anaknya hingga pendidikan tinggi. Keluarga ini bukanlah keluarga menengah ke atas, untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari saja masih harus banting tulang sana-sini. Sekali lagi para tetangga mencibir atas usaha keras nenek mewujudkan harapan anak-anaknya bersekolah tinggi. Buat apa? Pikir mereka. Mereka yang secara finansial berkelebihan harta saja belum punya visi soal pentingnya pendidikan saat itu. Berkat kerja keras, usaha & doanya pada akhirnya anak-anak nenek mengenyam pendidikan tinggi. Beberapa di antaranya bahkan sukses nun jauh di kota besar. Sebuah status yang senantiasa membuat orang kampung umumnya bangga sekaligus iri. Suatu pencapaian & pengalaman yang tak mungkin tercicipi tanpa tekad, ikhtiar & doa tulus. Bagi ibuku, nenek tak segan mengikhlaskan tanahnya di pasar untuk dikelola sebagai toko sumber nafkah sejak awal pernikahannya. Dari sanalah jalan rejeki mengalir menghidupiku sekeluarga hingga aku dewasa. Jika kemudian ibuku & aku menjadi orang yang optimis tentang pendidikan tinggi, terlepas dari kondisi ekonomi, inspirasinya bisa ditelusuri.
Di antara anak-anak nenek, ibuku satu-satunya perempuan. Bisa dipahami jika nenek paling dekat dengan ibuku, termasuk kemudian memutuskan tinggal serumah dengan keluarga kami ketika akhirnya nenek terharuskan pindah dari rumah lamanya. Konsekuensinya, aku juga dekat dengan nenek, sudah sejak lahir dirawatnya. Aku ingat sewaktu masih kecil, aku tinggal di rumah nenek yang kini sudah tidak ada. Bahkan setelah ibu bapak membangun rumah sendiri di tempat yang agak jauh dari rumah nenek, awal-awalnya aku masih belum ikut jua pindah ke sana. Tiap malam aku masih tidur bersama nenek di rumahnya. Pemandangan khas waktu kecil yang kini tinggal kenangan adalah menyaksikan nenek beratraksi di dapur: dengan tangan bergoyang memegang gagang pengaduk kayu, duduk di depan hawu (tungku), berkonser bersama asap yang membumbung, musik api yang berpercik melahap kayu bakar, diiringi irama, tarian, & aroma kopi yang disangrai di atas kuali tanah liat. Jika aku tukang ngopi mania, tak usah heran, sudah keturunan :D.
Aku kecil selalu dibawa-bawa oleh nenek ke berbagai pengajian ibu-ibu yang diikutinya. Aku dulu penurut, gak rewel, jadi gak masalah dibawa kemana-mana. Ketika terakhir kali ramadhan lalu aku mudik & ikut kuliah subuh bersama nenek di pengajian ibu-ibu (& nenek-nenek), rasanya menakjubkan begitu cepat waktu berlalu. It feels so amazing. Rasanya baru kemarin aku digendong ke pengajian oleh nenek, tiba-tiba sekarang aku sudah berjalan berdampingan, lebih tinggi sedikit darinya. Jika dahulu komentar teman-teman pengajian nenek adalah, "duh, anteng ya... Bageur..." *iya gituh? :p. Sekarang komen mereka adalah, "duh, udah perawan... Meni geulis..." *dikeplak, didemo rame-rame :p. Rasanya aneh mengalami ini. Seperti ada segunung waktu yang terloncati.
Kini, waktu sudah jauh terlampaui. Banyak kenangan yang hanya tersisa di sudut memori. Keadaan juga sudah jauh berbeda. Nenekku sudah tua, aku sudah dewasa, ibuku sudah tiada. Selama masa yang terlewati itu banyak sudah yang terjadi. Ujian demi ujian menerpanya tiada henti. Ketika ibuku tiada di usia muda, besar nian rasa kehilangannya akan putri semata wayangnya. Kasih sayangnya ia curahkan kepada kami, anak-anaknya yang ditinggalkan. Tak banyak kekuatannya yang tersisa di mata sekilas pandangan. Di usianya yang beranjak senja, tampaknya nenek begitu rapuh, dalam artian tak terlihat lagi sosoknya di masa muda yang aktif itu. Secara finansial, adalah giliran kami, anak-anak & cucu-cucunya yang mengalirkan jalan rejeki untuknya. Nenek juga tak punya rumah sendiri, tempat tinggalnya kini bisa dibilang menumpang di rumah saudara. Belum ada rumah anaknya yang cocok untuk hatinya selepas kepergian Alm. Ibuku. Meski kelihatannya rapuh, dari dalam aku bisa melihat sosoknya sebagai ibu yang tangguh. Kini nenekku tetap aktif mengikuti pengajian-pengajian & turut mengasuh cucu kecilnya yang lain. Di usianya yang senja, nenek terbilang sehat & awet muda, bahkan orang sering kecele tak menyangka ia adalah anak sulung, kakak tertua dari adik-adiknya yang juga sudah berumur, sebagian sudah tiada. Mungkin karena kesenangannya bercanda & berhumor, serta keaktifannya.
Dari nenek, aku banyak belajar tentang kehidupan. Aku yang anak kemarin sore, belum banyak pengalaman tentulah memerlukan sesosok ibu untukku bercermin. Tiap kali aku mencari cermin itu, aku selalu menemukannya. Tentu ada ibu kandungku, yang bagiku juga sosok ibu teladan dalam diamnya. Bagiku ibuku juga patriot kehidupanku. Hanya saja mari fokus bercerita tentang nenekku saja, ini pun sudah panjang. Aku khawatir jika bercerita tentang Alm. Ibuku, bisa-bisa jadi banjir air mata. Nenek yang kusapa "ibu" itu, sungguh menggantikan peran ibuku yang waktunya serasa begitu singkat itu. Teman-temanku di pesantren dahulu yang tak tahu, kerap salah mengira nenek yang mengunjungiku di asramaku adalah ibuku. Pantas saja dikira ibuku, sosoknya yang awet muda tak menunjukkan tipikal nenek bercucu banyak pada masa itu.
Kini, aku selalu rindu dan sedih memikirkan nenek di desa. Di usianya sekarang, cucunya sudah berjumlah 16. Nenek seorang diri saja, tinggal menumpang di ruang dapur rumah saudara. Aku khawatir nenek kesepian. Kadang, memendam sendiri perasaan hati yang tak bisa ia ungkapkan. Ingatannya kini mulai timbul tenggelam. Aku hanya belajar darinya dalam diam & mengamati. Meski kami dekat, tak berarti aku bisa curhat sepuasnya selazimnya kepada orang tua dekat. Aku hanya bisa mengandalkannya untuk mendoakanku. Darinya aku belajar tentang luka, tentang maaf, tentang pengorbanan. Jika dikatakan bahwa hati seorang ibu adalah jurang yang di dasarnya selalu ada kata maaf, maka aku mendapati realnya pada sosoknya. Dikatakan pula bahwa hati seorang ibu adalah rumah yang tak pernah menolak kita pulang, aku juga mengamininya dengan berkaca pada sosoknya.
Beberapa waktu lalu nenek mengatakan kalimat yang membuat hatiku perih. "Nenek ingin sempat melihatmu menikah, kalau bisa sempat pula menimang cicit. Pikirkan seandainya kamu menikah setelah nenek tiada. Kamu akan sedih, nangis, kesepian..." Maklum, isu jodoh tengah jadi topik hot di rumah. Aku diam saja & berlagak biasa. Dalam hati, apa yang dikatakannya sungguh menyayat hati. Memang benar. Aku bakal sedih... Tanpa ibuku menyaksikan sudah menyedihkan. Apalagi jika harus tanpa nenekku pula. *Ah, aku menangis nih... Sudah dulu ya ceritanya... Aku kangen nenekku... :'(. Ah, iya. Teringat pula satu mimpinya yang hingga kini belum terwujud: ke Baitullah, menjejak tanah Mekah.
![]() |
*mencari-cari koleksi foto yang kumau tak ketemu. Di kampung mah banyak. Cuman nemu ini di fb tertanggal 2009 |
Menyimak perjalanan hidupnya, bagiku nenek adalah sosok patriot dalam kehidupanku. Patriot dalam artian yang tak terbatas pada nasionalisme & kepahlawanan, melainkan mengerucut pada jiwa patriot di lingkup kehidupan keluargaku. Pengertian patriot bisa beragam & subyektif dari sudut pandang masing-masing pribadi. Sebagaimana dikemukakan dalam catatannya Mbak Prit di blognya, Api Kecil, semua orang punya sosok patriot dalam kehidupannya. Tak harus mereka yang ikut berperang berdarah-darah, namun dimensinya bisa meluas. Sosok-sosok yang membangunkan kita kala terjatuh, "yang membuat kita selalu belajar, bertahan dan memperjuangkan hidup dengan jujur serta ikhlas. Mereka adalah pelangi yang datang seusai badai."
Nenekku entah lahir tahun berapa, aku tak terlalu yakin tepatnya. Yang jelas, nenek pernah bercerita bahwa ia mengalami masa-masa perang pasca kemerdekaan di masa kecilnya. Ia masih menemui penjajah Belanda di tanah air ini, meski aku tak diceritakan detailnya seperti apa. Sebagai perempuan kecil di masa itu, nenek tidak mengenyam pendidikan sekolah. Nenek tidak bisa menulis, meski bisa membaca. Hingga kini, segala keperluan menulis nenek meminta bantuan orang di sekitarnya. Untuk keperluan tanda tangan, nenek selalu mengandalkan cap jempolnya. Meski demikian, sungguh menakjubkan apa yang telah nenek lakukan untuk anak-anaknya. Entah bagaimana, nenek punya semangat & tekad yang tak biasa dibandingkan dengan perempuan di sekitar pada umumnya, pada jamannya.
Rasanya sudah lama sekali sejak nenek mulai berceletuk bahwa umurnya sudah bonus, alias sudah melebihi usia Rasulullah SAW ketika wafat. Usianya kini mungkin sudah lewat 70. Jika nenek lahir sekitar tahun 40-an, mungkin sekira tahun 70-an atau 80-an jauh sebelum aku lahir nenek sudah menjadi janda muda, single parent beranak 6. Sesungguhnya nenek memiliki 9 anak, 3 di antaranya meninggal semasa kecil. Keluarga besar. Saat itu belum ada KB. Ketika ditinggal Alm. Kakek, anak-anaknya masih kecil & remaja. Bisa dibayangkan bagaimana beratnya beban yang dipikulnya. Selama bertahun-tahun, nenek banting tulang kesana-kemari berjuang sendiri mencari nafkah untuk anak-anaknya berikut pendidikannya. Tetangga-tetangganya menggosipkannya di pasar. Ia tak peduli. Sebagai seorang janda muda, berparas ayu pula, nenek yang kerap bepergian untuk urusan dagang membuat para tetangga menggosip skandal yang tak benar adanya. Belum lagi godaan dari para pria yang tertarik kepadanya. Nenek bercerita, banyak pria meminangnya. Tak satu pun yang nenek terima. Nenek lebih memilih melajang & berjuang sendirian. Sejak itu hingga kini beranjak senja. Aku tak tahu, mungkin inilah hati wanita yang sebagaimana sering orang bilang, setia pada satu suami. Bertahan hingga ditinggal pergi. Tak tergoda oleh bujuk rayu, prospek masa depan cerah, apalagi sekadar gombalisme :D.
Katanya dulu nenek sibuk berdagang. Kelontongan, ikan asin, lalu belakangan jualan kopi sangrai. Entah energi & inspirasi dari mana, nenek punya tekad mencengangkan untuk keperluan sekolah anak-anaknya. Pada masa itu, warga kampung kami masih sangat jauh dari visi pendidikan tinggi. Entah bagaimana, ketika para tetangga tak mengindahkan urusan pendidikan anak, nenek berjuang sendiri bertekad menyekolahkan anak-anaknya hingga pendidikan tinggi. Keluarga ini bukanlah keluarga menengah ke atas, untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari saja masih harus banting tulang sana-sini. Sekali lagi para tetangga mencibir atas usaha keras nenek mewujudkan harapan anak-anaknya bersekolah tinggi. Buat apa? Pikir mereka. Mereka yang secara finansial berkelebihan harta saja belum punya visi soal pentingnya pendidikan saat itu. Berkat kerja keras, usaha & doanya pada akhirnya anak-anak nenek mengenyam pendidikan tinggi. Beberapa di antaranya bahkan sukses nun jauh di kota besar. Sebuah status yang senantiasa membuat orang kampung umumnya bangga sekaligus iri. Suatu pencapaian & pengalaman yang tak mungkin tercicipi tanpa tekad, ikhtiar & doa tulus. Bagi ibuku, nenek tak segan mengikhlaskan tanahnya di pasar untuk dikelola sebagai toko sumber nafkah sejak awal pernikahannya. Dari sanalah jalan rejeki mengalir menghidupiku sekeluarga hingga aku dewasa. Jika kemudian ibuku & aku menjadi orang yang optimis tentang pendidikan tinggi, terlepas dari kondisi ekonomi, inspirasinya bisa ditelusuri.
Di antara anak-anak nenek, ibuku satu-satunya perempuan. Bisa dipahami jika nenek paling dekat dengan ibuku, termasuk kemudian memutuskan tinggal serumah dengan keluarga kami ketika akhirnya nenek terharuskan pindah dari rumah lamanya. Konsekuensinya, aku juga dekat dengan nenek, sudah sejak lahir dirawatnya. Aku ingat sewaktu masih kecil, aku tinggal di rumah nenek yang kini sudah tidak ada. Bahkan setelah ibu bapak membangun rumah sendiri di tempat yang agak jauh dari rumah nenek, awal-awalnya aku masih belum ikut jua pindah ke sana. Tiap malam aku masih tidur bersama nenek di rumahnya. Pemandangan khas waktu kecil yang kini tinggal kenangan adalah menyaksikan nenek beratraksi di dapur: dengan tangan bergoyang memegang gagang pengaduk kayu, duduk di depan hawu (tungku), berkonser bersama asap yang membumbung, musik api yang berpercik melahap kayu bakar, diiringi irama, tarian, & aroma kopi yang disangrai di atas kuali tanah liat. Jika aku tukang ngopi mania, tak usah heran, sudah keturunan :D.
Aku kecil selalu dibawa-bawa oleh nenek ke berbagai pengajian ibu-ibu yang diikutinya. Aku dulu penurut, gak rewel, jadi gak masalah dibawa kemana-mana. Ketika terakhir kali ramadhan lalu aku mudik & ikut kuliah subuh bersama nenek di pengajian ibu-ibu (& nenek-nenek), rasanya menakjubkan begitu cepat waktu berlalu. It feels so amazing. Rasanya baru kemarin aku digendong ke pengajian oleh nenek, tiba-tiba sekarang aku sudah berjalan berdampingan, lebih tinggi sedikit darinya. Jika dahulu komentar teman-teman pengajian nenek adalah, "duh, anteng ya... Bageur..." *iya gituh? :p. Sekarang komen mereka adalah, "duh, udah perawan... Meni geulis..." *dikeplak, didemo rame-rame :p. Rasanya aneh mengalami ini. Seperti ada segunung waktu yang terloncati.
Kini, waktu sudah jauh terlampaui. Banyak kenangan yang hanya tersisa di sudut memori. Keadaan juga sudah jauh berbeda. Nenekku sudah tua, aku sudah dewasa, ibuku sudah tiada. Selama masa yang terlewati itu banyak sudah yang terjadi. Ujian demi ujian menerpanya tiada henti. Ketika ibuku tiada di usia muda, besar nian rasa kehilangannya akan putri semata wayangnya. Kasih sayangnya ia curahkan kepada kami, anak-anaknya yang ditinggalkan. Tak banyak kekuatannya yang tersisa di mata sekilas pandangan. Di usianya yang beranjak senja, tampaknya nenek begitu rapuh, dalam artian tak terlihat lagi sosoknya di masa muda yang aktif itu. Secara finansial, adalah giliran kami, anak-anak & cucu-cucunya yang mengalirkan jalan rejeki untuknya. Nenek juga tak punya rumah sendiri, tempat tinggalnya kini bisa dibilang menumpang di rumah saudara. Belum ada rumah anaknya yang cocok untuk hatinya selepas kepergian Alm. Ibuku. Meski kelihatannya rapuh, dari dalam aku bisa melihat sosoknya sebagai ibu yang tangguh. Kini nenekku tetap aktif mengikuti pengajian-pengajian & turut mengasuh cucu kecilnya yang lain. Di usianya yang senja, nenek terbilang sehat & awet muda, bahkan orang sering kecele tak menyangka ia adalah anak sulung, kakak tertua dari adik-adiknya yang juga sudah berumur, sebagian sudah tiada. Mungkin karena kesenangannya bercanda & berhumor, serta keaktifannya.
Dari nenek, aku banyak belajar tentang kehidupan. Aku yang anak kemarin sore, belum banyak pengalaman tentulah memerlukan sesosok ibu untukku bercermin. Tiap kali aku mencari cermin itu, aku selalu menemukannya. Tentu ada ibu kandungku, yang bagiku juga sosok ibu teladan dalam diamnya. Bagiku ibuku juga patriot kehidupanku. Hanya saja mari fokus bercerita tentang nenekku saja, ini pun sudah panjang. Aku khawatir jika bercerita tentang Alm. Ibuku, bisa-bisa jadi banjir air mata. Nenek yang kusapa "ibu" itu, sungguh menggantikan peran ibuku yang waktunya serasa begitu singkat itu. Teman-temanku di pesantren dahulu yang tak tahu, kerap salah mengira nenek yang mengunjungiku di asramaku adalah ibuku. Pantas saja dikira ibuku, sosoknya yang awet muda tak menunjukkan tipikal nenek bercucu banyak pada masa itu.
Kini, aku selalu rindu dan sedih memikirkan nenek di desa. Di usianya sekarang, cucunya sudah berjumlah 16. Nenek seorang diri saja, tinggal menumpang di ruang dapur rumah saudara. Aku khawatir nenek kesepian. Kadang, memendam sendiri perasaan hati yang tak bisa ia ungkapkan. Ingatannya kini mulai timbul tenggelam. Aku hanya belajar darinya dalam diam & mengamati. Meski kami dekat, tak berarti aku bisa curhat sepuasnya selazimnya kepada orang tua dekat. Aku hanya bisa mengandalkannya untuk mendoakanku. Darinya aku belajar tentang luka, tentang maaf, tentang pengorbanan. Jika dikatakan bahwa hati seorang ibu adalah jurang yang di dasarnya selalu ada kata maaf, maka aku mendapati realnya pada sosoknya. Dikatakan pula bahwa hati seorang ibu adalah rumah yang tak pernah menolak kita pulang, aku juga mengamininya dengan berkaca pada sosoknya.
Beberapa waktu lalu nenek mengatakan kalimat yang membuat hatiku perih. "Nenek ingin sempat melihatmu menikah, kalau bisa sempat pula menimang cicit. Pikirkan seandainya kamu menikah setelah nenek tiada. Kamu akan sedih, nangis, kesepian..." Maklum, isu jodoh tengah jadi topik hot di rumah. Aku diam saja & berlagak biasa. Dalam hati, apa yang dikatakannya sungguh menyayat hati. Memang benar. Aku bakal sedih... Tanpa ibuku menyaksikan sudah menyedihkan. Apalagi jika harus tanpa nenekku pula. *Ah, aku menangis nih... Sudah dulu ya ceritanya... Aku kangen nenekku... :'(. Ah, iya. Teringat pula satu mimpinya yang hingga kini belum terwujud: ke Baitullah, menjejak tanah Mekah.
*Tulisan ini disertakan dalam
terharu...saya jd kangen nenek saya setelah bacanya...btw semoga doa nenek segera terkabul ya
BalasHapusheuheu... Kangen serius... Amiin, terima kasih doanya ya :)
Hapusiaaaa..nenek saya itu meskipun cerewet tp sangat baik pada orang lain..dia suka membantu orang..karena prinsip nenek kebaikan beliau kepada orang2 itu tabungan untuk anak cucu dia.dan mmg terbukti, ketika ada anak2 dan cucu2 beliau yg merantau selalu dapat kemudahan jika ada dlm kesulitan.saya percaya itu hasil balasan kebaikan2 nenek pd orang lain yg berikan Allah melalui tangan2 org lain
HapusHehe, kurang lebih sama, Mak Ana. Biasanya adaaa aja rejeki ketika persediaan beras menipis atau kantong kosong. Mungkin memang demikian balasan bagi orang2 yg peduli untuk orang lain. :)
Hapushmmm jadi pengen ngerasain punya nenek... aku gak pernah ngerasan diopeni atau dimanjakan sama nenek
BalasHapusKalau aku belum pernah ketemu sama kakek justru, Mbak. Punya nenek yg dekat itu senang lho... :)
HapusAku gak punya banyak kenangam tentang nenekku. Krn beliau sudah pikun sepanjang ingatanku ketika kecil. Tapi tulisan ini mengharukan
BalasHapusBeruntungnya aku, sempat punya kenangan tak terlupakan tentang nenek seperti ini. Nenekku sekarang sudah mulai menunjukkan gejala itu :(. Terima kasih sudah membaca, Mak :)
HapusMenjadi janda muda dengan 6 (enam) anak dan tidak menerima pinangan laki-laki lain sungguh perempuan yang luar biasa. Pantas saja jika anak cucunya menjadi orang-orang yang berprestasi. Beruntung sekali, Mbak, punya nenek seperti beliau.
BalasHapusIya, Mas Luthfi. Kalau dipikir lagi, membayangkan situasinya kala itu, apa yang ditempuh nenekku sungguh keren sekali. Amiin...
HapusAlhamdulillah, beruntungnya aku diberi karunia itu :)
Wah jadi terharu nih bacanya
BalasHapusAku sendiri yang menuliskan & membacanya kembali, berkali2 tak bisa menahan buliran air di pelupuk mata :)
HapusTerharu, baru kali ini baca tokoh patriotnya adalah sang nenek.
BalasHapusSalut buat perjuangan nenek :)
Sukses untuk GA-nya ya.
Sepertinya lebih banyak yang menyebut kakek & kedua orang tua ya. Iya, terima kasih Mak, sudah membaca & berkomentar :)
HapusMatur nuwun sudah turut menyemarakkan Tasyakuran Sang Patriot ya mbak Euisry
BalasHapusSama-sama, Mas. Sukses tasyakuran blogger Jembernya :)
Hapuswah, segitu deketnya ya mak, kalau saya agak jauh dr nenek jd hubungan pun kurang rekat.
BalasHapusampe mau nangis nih bacanya,
Hehe, iya Mbak Damae, dari kecil diasuh. Sekarang justru aku yg meninggalkannya di kampung krn merantau. Sepertinya kehidupan nenekku gak jauh dari ngurus & ngurus. Ngurus anak, cucu, sampe ponakan yang yatim piatu.
HapusEheu, ternyata aku gak nangis sendirian :D
Wah... punya toga begitu juga, ya? Kita sealmamater. Hehehe... komen OOT.
BalasHapusSukses ya, Mak. ^^
Hwahaha... Mbak Nia tahu ajah toga almamaternya :D. Emang keliatan yah? O iya. Salam kenal ya...
HapusAmiin... hehe gak apa OOT jg, yg penting gak jualan ato nyepam :D
Samaa aku juga punya toga almamater itu :))
Hapushehe, ada lagi. Jadi reuni kecil2an gini nih :D
HapusWuah jadi ingat nenekku yang di kampung juga. hiks
BalasHapusDan kita sama mak belum bisa memamerkan calon suami ke nenek :((
salam kenal
Hehe, kita punya beberapa kesamaan ya Mbak. Semoga segera deh, Mbak Riska :). Salam kenal kembali yaa...
HapusMbak, terima kasih ya atas partisipasinya. Senang membaca tulisan ini.
BalasHapusSama-sama, Mas Hakim. Syukurlah :)
Hapuspatriot yang patut ditiru ya, mak. buat seorang anak pendidikan memang penting. apalagi sekarang masih ada orang yang lebih rela anaknya kerja jadi buruh daripada melanjutkan sekolah. padahal yang aku liat ketika jadi pekerja pun, mereka butuh belajar. sedangkan dasarnya saja masih kurang. jadi pendidikan memang penting untuk mengubah kehidupannya.
BalasHapusIya, semoga bisa meneladaninya... Itu dia, Mak. Kata orang pendidikan bukan segalanya. Tapi bagiku, pendidikan itu segalanya. Memang tak harus lewat sekolah atau institusi formal sih, maksudku pendidikan secara universal. Itulah kiranya yang diisyaratkan hadits tentang menuntut ilmu wajib sejak buaian hingga liang lahat. Memang sih, itu juga buat ilmu agama tertentu menurut prioritas. Cuma ya, tetap saja... Bagiku para cendekiawan muslim masa lalu adalah contoh teladan. Keilmuannya sangat luas, terlepas apa profesinya/bidang yg digelutinya.
HapusMemang tak harus lewat jalur sekolah. Namun, pertanyaannya adalah apakah tanpa jalur formal itu tetap terididik diri apa tidak. Kalau melihat realita masyarakat, tak semua orang bisa semandiri itu...
*selalu takzim sama orang2 multitalenta yg tak hanya ahli di bidangnya, tapi juga seimbang dg keilmuan akhiratnya ^_^