Membaca Hatta: Inspirasi Buat Generasi Bangsa

merah putih di MKAA
“Merah putih masih merayap gelisah
mencari Hatta dalam jiwa dua ratus juta kita.”
― Abdurahman Faiz, dalam Nadya: Kisah dari Negeri yang Menggigil

Beberapa rabu sejak pertengahan maret ini aku menyempatkan diri bergabung mengikuti tadarus buku mingguan yang diselenggarakan oleh Asian African Reading Club (AARC) di Museum Konferensi Asia Afrika (MKAA), Bandung. Tadarus buku sesi maret ini adalah tentang buku karya Bung Hatta: Indonesia Merdeka. Sebuah buku yang pada awalnya berupa naskah pidato pembelaan/pledoi Bung Hatta di persidangan formal di depan majelis hakim pemerintahan kolonial Belanda pada 1928. Aku terbilang baru bergabung di majelis tadarus buku ini. Selepas beberapa kali mengikutinya, aku kini sudah mengenal ritual rutin pada agenda ini. Di awali dengan doa pembukaan, mengheningkan cipta buat para pahlawan kita, dilanjutkan dengan menyanyikan lagu Indonesia Raya. Setelah pembukaan khas itu, barulah tadarus buku dimulai. Sebagaimana aktivitas tadarus biasanya, kami yang hadir bergilir membacakan lantang buku itu dengan porsi tertentu. Dalam sekali pertemuan, sekira 1-2 bab bisa selesai. Sisanya dilanjutkan di tadarus buku minggu berikutnya. Selepas tadarus, barulah beranjak pada ulasan buku. Biasanya menghadirkan seorang pembicara yang tidak sama di tiap sesi, disusul dengan diskusi bersama. Pembicara yang hadir sangat beragam latar belakangnya. Suatu kali seorang budayawan, lain kali pegiat buku, dan lain-lain. Bahasan menjadi menarik ketika sebuah buku bisa diulas & ditinjau dari berbagai segi. Tak kalah beragam pula peserta tadarus buku yang hadir. Tak hanya berlatar belakang pendidikan sejarah, siapa saja bisa turut berpartisipasi. Tadarus buku ini terbuka untuk umum.



foto poster Bung Hatta di MKAA
Dalam tulisan ini, aku tak hendak membahas biografi Hatta maupun sejarahnya secara mendetail. Aku bukanlah orang yang sudah melahap banyak buku sejarah. Bukan pula berwawasan luas dan dalam mengenainya. Aku hanya seorang yang baru sedang memulai pembacaan itu. Membaca, mendengar, menyimak perbincangan tentang Hatta di majelis buku ini, ada begitu banyak nilai-nilai & inspirasi Hatta yang digulirkan oleh para pembahasnya. Hatta mungkin hidup dan berkiprah di masa lalu. Namun inspirasinya tetap relevan dalam konteks masa kini. Sosok Hatta adalah sosok seorang Indonesia yang cinta Indonesia & dibutuhkan oleh Indonesia. Dan memang, para pengulas karya Hatta ini cenderung menarik inspirasi sosok Hatta ke dalam konteks kekinian. Adalah hal yang disayangkan, jika aku tak membagikan apa yang mereka sampaikan dalam bentuk tulisan.

Sebetulnya, aku melewatkan 1 sesi pertama tadarus buku Hatta: Indonesia Merdeka ini. Apa yang kutulis di sini hanyalah semacam rangkuman kasar dari menyimak 3 sesi tadarus buku tersebut, dengan memilah inspirasi sosok Hata sebagai 1 dari sekian pemimpin yang menggerakkan roda sejarah bangsa Indonesia. Dalam ketiga pertemuan tersebut sosok Hatta dibincangkan oleh Hawe Setiawan, Acep Iwan Saidi, & Deni Rahman, serta beramai-ramai oleh peserta tadarus buku. Inspirasinya sungguh relevan bagi kita, generasi bangsa masa kini yang berpotensi menjadi The Future Leaders buat Indonesia.

Kemandirian di benak & sosok Hatta

Kemandirian adalah semacam keyword yang bisa kita baca pada kamus pemikiran Hatta. Bung Karno menyebutnya dengan istilah "berdikari". Pada masa pemerintahan kolonial, Belanda sempat memberikan janji-janji palsu, misalnya pada 1918 seperti yang disinggung Hatta dalam bukunya, "Indonesia Merdeka" ini. Hatta menyaksikan bukti yang berbeda dari apa yang dijanjikan pemerintah. Sebagai seorang intelektual muda pada masanya, Hatta sudah menyadari, tak ada artinya menggantungkan pengharapan kepada bangsa lain. Dengan tegas pemikiran itu tertanam: bahwa sebuah negeri bukanlah pemberian. Kemerdekaan negeri adalah sesuatu yang harus diupayakan bangsanya sendiri. Hatta bertindak non-kooperatif dengan pemerintah kolonial. Sering dibilang bahwa Hatta adalah Gandhi-nya Indonesia. Meski demikian, gaya non-kooperasi Hatta berbeda dengan Gandhi yang cenderung mengusung kemandirian tradisional. Kemandirian yang dicita-citakan Hatta diterjemahkannya ke dalam bentuk aksi yang direalisasikan. Realisasi kemandirian itu antara lain:
-Pendidikan Politik
Pada masa kolonial, penjajah menyebarkan mitos yang melemahkan pribumi. Misalnya dengan mitos "the lazy natives", penanaman tentang kebergantungan pribumi terhadap kulit putih, dan semacamnya. Hatta bangkit untuk memulihkan gejala tak sehat ini, antara lain melalui pendidikan politik untuk rakyat Indonesia, misalnya lewat diskusi, orasi, tulisan, kursus-kursus politik. Hatta tergerak memulihkan hipnosis ketakberdayaan pribumi yang ditanam penjajah tersebut.
- Kemandirian ekonomi
Kritikan Hatta atas janji kolonial yang tak ditepati pada 1918 yang ia dedahkan pada buku "Indonesia Merdeka", antara lain berangkat dari pembacaannya terhadap kondisi ekonomi pribumi yang kritis. Hatta membaca situasi pada masa itu, apa yang dilihatnya adalah eksploitasi penjajah atas tanah jajahan. Pembentukan koperasi adalah sebuah bentuk realisasi kemandirian ekonomi seperti yang dicita-citakan Hatta. Hatta adalah seorang ekonom cerdas. Sangat tahu betul pentingnya kemandirian ekonomi bagi kelangsungan bangsa. Ekonomi kerakyatan menjadi ide kemandirian ekonomi yang manfaatnya berjangka panjang, bervisi menjadi roda kehidupan RI masa depan. Sosok Hatta selain keturunan ulama, juga keturunan pedagang. Pemikirannya adalah pemikiran merdeka, mentalnya bebas, tak tunduk pada satu kepentingan.

Keberanian sosok Hatta

Keberanian Hatta adalah keberanian yang keren. Hatta punya banyak kualitas keberanian dalam dirinya. Keberanian secara sosial, Hatta mampu meresapi pendapat & penderitaan orang lain dalam dirinya. Dengan demikian menjadikannya peka & berempati atas permasalahan sosial. Pada dirinya, bisa kita temukan pula keberanian mempertahankan prinsip. Hatta seorang yang konsisten, sekali berprinsip, tak kenal kompromi. Dalam buku Indonesia Merdeka, Hatta menyinggung perkumpulan Boedi Oetomo, yang menurut pandangannya lemah, banyak kompromi dengan pemerintah kolonial. Hatta juga mengkritik Boedi Oetomo, yang merupakan perkumpulan eksklusif kelompok intelektual ningrat. Kerap dibandingkannya perkumpulan ini dengan Perhimpunan Indonesia tempatnya aktif bergerak. Di samping itu, keberanian Hatta adalah keberanian tanpa kekerasan. Keberanian intelektual. Hatta berteriak dengan kelembutannya. Ini juga yang membuatnya disebut-sebut sebagai Gandhi-nya Indonesia. 

Nasionalisme Hatta
Nasionalisme Hatta tidaklah sama dengan partai nasionalis. Nasionalisme Hatta sifatnya ideologis, terpanggil oleh keyakinan/pilihan membangun nasionalisme yang memang dibutuhkan oleh Indonesia. Ideologi juga tak sama artinya dengan kepentingan (pihak tertentu). Nasionalisme Hatta murni dari kesadaran dirinya yang terpanggil. Barangkali inilah bedanya dengan oknum-oknum pemimpin jaman sekarang yang tak bisa lepas dari kepentingan kepartaian atau pihak tertentu. Nasionalisme Hatta tak diragukan. Ketika kuliah, studinya pun tidak didorong oleh ego. Hatta muda memilah materi-materi kuliah yang dipelajarinya bukan berdasarkan kesenangan pribadi, melainkan atas dasar perkiraannya tentang ilmu-ilmu apa saja yang dibutuhkan untuk menunjangnya membangun Indonesia merdeka. Hatta ketika menjadi mahasiswa di luar negeri (Belanda), tidak terjebak pada gaya hidup bebas & melupakan keadaan rakyat tanah air. Alih-alih berhura-hura, Hatta aktif berjuang dalam Perhimpunan Indonesia, vokal bersuara di majalah Indonesia Merdeka (awalnya bernama Hindia Poetra).

Hatta: sosok pembaca sejati
Hatta adalah cerminan sosok pembaca sejati. Hatta membaca dalam artian iqra: membaca yang tersurat maupun yang tersirat. Kepandaiannya membaca keadaan tak lepas dari pengetahuannya yang luas. Wawasan yang luas itu di antaranya diperoleh dari bacaannya yang begitu luas pula. Kecintaan Hatta pada buku sudah melegenda. Pada biografinya bisa kita baca tentang keintimannya dengan buku sepanjang hidupnya. Tempat belanja favoritnya adalah toko buku. Pada tahun 1932, sepulang kuliah dari Belanda, ada 16 peti bukunya diboyong ke Indonesia. Koleksinya tak main-main. Buku-buku berbahasa Jerman, Belanda, & Inggris menunjukkan kepiawaiannya dalam berbahasa asing. Dikatakan bahwa tak ada yang lebih memahami Das Kapitalnya Karl Max dibanding Hatta. Ia pelajari bahasa Jerman sebelum membaca teksnya. Buku & media cetak juga media ideal Hatta untuk menuangkan gagasan & melancarkan kritik bagi lawan-lawan politiknya dalam kata-kata sopan namun tajam & tegas. Sebuah kutipan terkenal darinya antara lain, “Aku rela di penjara asalkan bersama buku, karena dengan buku aku bebas.” Buku adalah amunisinya, pena/tinta adalah senjatanya. Bahkan mas kawin pernikahannya dengan Ibu Rahmi adalah buku karyanya, Alam Pikiran Yunani.
***

Menjadi Bangsa Pembaca

Ada yang terasa familiar pada saat pertama kalinya aku mengikuti tadarus ini sedari awal pembukaan. Berdoa & mengheningkan cipta untuk para pahlawan bangsa, kemudian menyanyikan lagu Indonesia Raya bersama. Sebagai pengingat, kita yang sudah lama tak merasakan upacara bendera tiap senin seperti ketika di bangku sekolah, agar kita terdorong untuk menghayati kembali sejarah perjuangan bangsa kita. Terlebih di sini, di sebuah tempat bersejarah, saksi lahirnya Konferensi Asia Afrika yang menyatukan solidaritas bangsa-bangsa terjajah di belahan Asia & Afrika, yang diprakarsai oleh pahlawan-pahlawan kita terdahulu.

Ada yang terasa familiar dengan ritual ini. Bukan cuma teringat upacara bendera, melainkan karena beberapa waktu sebelumnya, pada acara Pesta Buku Bandung 14 maret 2014 lalu, ritual pembukaan ini juga dilakukan di area panggung utamanya. Pada hari itu, ada acara peluncuran buku yang bertajuk Konser Buku "Menjadi Bangsa Pembaca", karya Adew Habtsa. Acaranya bukan berupa bedah buku atau talkshow, melainkan konser musik, lebih tepatnya musikalisasi puisi-puisi karya berbagai penyair Indonesia yang dikutip dalam buku yang diluncurkan tersebut. Menyimaknya, jadi semacam konser musik yang merayakan dunia literasi. Konser ini menjadi salah satu panggung bagi penampilan musik Adew Habtsa dan rekan-rekannya yang tergabung dalam grup musik Ukulele Bandung (Ukeba), juga dimeriahkan pula oleh beberapa seniman & pegiat musik lainnya.

Menjadi Bangsa Pembaca adalah sebuah memoar yang berkisah tentang perjalanan penulisnya berkenalan, berteman, & jatuh cinta pada dunia literasi. Penulisnya, Adew Habtsa, adalah seorang kawan yang senang berkegiatan membaca & menulis (& bermusik), termasuk menjadi salah satu penggerak kegiatan tadarus buku AARC. Seperti yang digaungkan oleh bukunya dalam judul yang megah itu, "Menjadi Bangsa Pembaca", kita diajak menjadi bagian dari sebuah bangsa yang membaca. Membaca awalnya dari kata, kemudian kalimat, kemudian paragraf, lalu bab, lalu buku, lalu kitab kehidupan secara luas (iqra). Termasuk di dalamnya membaca kitab kehidupan berbangsa, melakukan "pembacaan" atas sejarah, atas perjuangan, atas teladan yang ditorehkan para pahlawan. Agar kita tak lupa (apalagi melupakan), akar sejarah kita sendiri. Kita, sebagai generasi penerus bangsa, juga anak-cucu kita kelak, The Future Leaders, tentunya sangat perlu menghayati & menjiwai sejarah bangsa kita. Meski jaman sudah berubah, semangat juang para pahlawan terdahulu tetaplah relevan ruhnya untuk dibawa dalam kehidupan berbangsa masa kini.

Siapa bilang pemimpin masa depan hanya harus terus melihat ke depan? Menengok ke belakang, pada sejarah juga diperlukan. Sejarah adalah kesatuan masa lalu, masa kini, masa depan. Pemikiran tokoh-tokoh sejarah bisa terus dikontekstualisasi. Masa lalu bisa terus diberi nilai-nilai baru. Kembali ke Hatta, sosoknya adalah inspirasi yang tak lekang dimakan jaman. Pemikirannya tetap relevan dikontekstualisasikan pada ranah kekinian. Pemimpin masa depan wajib menjadi pembaca sejati seperti Hatta. Sosok-sosok semacam Hatta tetap bangsa ini perlukan di setiap jaman. Sebab setiap waktu, ada sejarah yang sedang kita rancang.

Komentar

  1. Tak bisa memberi banyak komentar. Hanya saja saya berharap, di masa mendatang Indonesia memiliki pemimpin tangguh berjiwa besar seperti beliau.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Membaca Hatta memang membuat speechless... Bagai tokoh dongeng. Sungguh beruntung nyatanya Indonesia sempat memiliki tokoh seperti beliau. Meski langka, harapan tak boleh pupus ya :)

      Hapus
  2. kapan Indonesia punya pemimpin seperti itu lagi ya

    BalasHapus
    Balasan
    1. Itu pertanyaan yang sulit dijawab. Jawabannya sangat tergantung bagaimana kita

      Hapus
  3. Saya jg mengaguminya mbak...Seharusnya kt meneladaninya...bangsa lain sj spt Belanda sp menyematkan nama beliau utk nama sebuah jalan disana bernama Muhammad Hattastraat...

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya, Mbak. Aku sungguh mengaguminya. Suka sama gayanya. Pendiam namun tak diam. Sosok pecinta sejati. Sosok pembaca sejati. Keren ^_^.

      Hapus
  4. kagum seh dengan sosok Bung Hatta. Keliatannya kalem :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Memang kalem, Mak, menurut apa yg dpt terbaca. Pribadinya bertolak belakang dari segi pembawaan dg Bung Karno yg berapi-api. Jadinya saling melengkapi :)

      Hapus
  5. Keturunan dari ulama?. Saya baru tahu dari sini, Mba. Hihihi. Nilai sejarah nol banget e.

    Indonesia haus akan sosok pemimpin seperti SH ya, Mba.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hehe, coba baca biografinya, Mbak Idah. Bung Hatta itu menarik. Bahkan waktu mudanya diamanahi oleh kakeknya utk meneruskan jejaknya sebagai ulama, diminta belajar ke Timteng. Hanya Bung Hatta lebih memilih sekolah ke Belanda. Mungkin didasarkan pada prioritas kebutuhan, saat itu Indonesia merdeka lebih urgent di matanya. Pilihannya tsb sangat dpt dipertanggung jawabkannya. Darah keulamaan itu tetap terpelihara dalam sosoknya.

      Btw kok SH? Aku jd inget Sherlock Holmes atau Sarjana Hukum, hihi... Maksudnya MH kan :D

      Hapus
  6. jangan salah memilih pemimpin :-)


    Silahkan singgah di WEB kita mas/mbak :-)
    buat anak-anak anda yang mau belajar
    www.ditokokita.com

    BalasHapus
  7. Kirain tadarrus Al-Qur'an, eh ternyata tadarrus buku juga ada ya

    BalasHapus
    Balasan
    1. Ada Mas, asalkan diadain :D. Baca buku2 seriusan gini secara keroyokan ala tadarus kan lumayan beda dari pengalaman baca sendiri. Memang terinspirasi daru tadarusan Al-Qur'an, hehe :D

      Hapus
  8. Ah... toko favoritku ini. Bersahajaaaaa banget, ya.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya, Mbak... Teringat artikel yg kubaca kemarin tentang kebersahajaannya... Speechless deh :)

      Hapus
  9. Aku jug akurang suka baca buku sejarah, Mak.
    Ah tapi sosok Bung Hatta memang mengagumkan :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Ini memang masih sebuah PR, Mak. Ke depannya sedikit2 Insya Allah mulai dicicil baca juga *intersetku terlalu banya sih :D.
      Iya, mengagumkan. Dan ada banyak yg ingin kutulis tentang Bung Hatta, seandainya amunisiku sudah cukup. Sayangnya belum :)

      Hapus
  10. woww, 16 peti, mak? banyak banget. glek. pantesan pinter ya. apalagi bukunya berat isinya.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya, Mbak... Dan menurut novel biografi beliau yg pernah saya baca, 16 peti itu terus menemaninya ke mana-mana... Sampai diangkut pula sewaktu beliau dibuang/diasingkan ke Banda Naira. Di sana, dengan buku-bukunya, beliau tetap bisa menebarkan pemberdayaan bagi orang-orang di sekitarnya :)

      Hapus

Posting Komentar

Tinggalkan jejakmu kala mampir di sini

Popular Posts

Mozaik Bandung: Liburan yang Kacau & Jalan Panjang ke Pondok Hijau

Mencapai Impian dalam Mengelola Keuangan Secara Efektif dan Efisien

Puisi Sapardi, Acep Zamzam, & Bulu Kuduk [Wishful Wednesday #2]