Pulang & Tanda Tanya Besar

sumber gambar: http://www.travellers.web.id

Pulang. Bagiku itu sebuah kata yang masih diekori oleh sebuah tanda tanya besar.  Kata “pulang” kerap aku sandingkan dengan kata-kata magis nan misterius dan kaya semacam “cinta” & “bahagia”. Sebagaimana cinta & bahagia, pulang bagiku menyimpan kekayaan makna. Kadang maknanya sederhana, namun kadang pula maknanya kompleks. Bagiku pulang termasuk golongan kata-kata yang mengandung paradoks tersendiri. Ia punya banyak dimensi, mulai dari yang terkecil & sepele, sampai yang besar dan universal. Secara sederhana, cinta misalnya, bisa ditafsirkan sebatas kata-kata “I love you”, atau sesimpel memberikan kasih sayang secara umum. Lalu bagaimana dengan rindu, dengan sesak, dengan air mata, dengan kata-kata yang entah, yang barangkali aku pun belum terpikirkan untuk mengejanya? Jika mempertimbangkan hal-hal lain itu, kata cinta sekonyong-konyong menjadi kompleks. Juga bahagia. Ada kebahagiaan kecil, dari sesuatu yang sepele. Kadang bahkan sebagian orang menamakan “kesenangan” sebagai “kebahagiaan”. Ada yang semu, ada yang sejati. Begitu juga dengan pulang. Ada kepulangan kecil, ada kepulangan besar...

Aku yang masih awam dan miskin pengalaman, mengeja kata pulang senantiasa diekori bayangan tanda tanya besar. Ah, tentu saja aku pun kadang merasakan pulang sebagai sesuatu yang ringan. Sebagaimana biasa, kembalinya aku dari tempat bepergian ke tempat semula aku berangkat, itulah yang kunamakan pulang. Pulang ke kosan, pulang ke rumah... Bicara rumah, ia adalah tempat yang paling kerap disandingkan dengan  pulang. Bagiku, pulang ke rumah juga masih diekori pertanyaan-pertanyaan. Setidaknya, aku kerap mengaku pulang ke rumah. Lalu dalam hatiku, kutambahkan, “setidaknya, aku ingin menamakannya demikian”. Takkan pernah ada pulang tanpa adanya pergi, menempuh perjalanan. Perjalanan itu tak harus jauh, bisa dekat-dekat rumah. Namun aku, memang ditakdirkan menjadi seorang pengembara yang terus jauh dari rumah.

Apa yang kumaksud dengan pertanyaan-pertanyaan yang menghinggapi kata pulang barangkali agak kurang bisa dipahami dari tulisanku ini. Ini hanyalah sebuah cerita personal, mungkin tak semua orang mengalami hal yang sama. Singkatnya, aku sudah jauh dari rumah sejak bersekolah di bangku SMP, sampai sekarang. Masa-masa remaja bersekolah itu kuhabiskan jauh dari rumah karena mengembara menuntut ilmu di pesantren. Ketika kuliah, lulus & bekerja, kuhabiskan pula di kota-kota yang bukan kampung halamanku sendiri. Dalam jangka waktu itu tentu ada masa-masa pulang, mudik kala liburan. Kala sekolah dulu, pulang artinya kembali ke pelukan hangat rumah & keluarga. Hingga suatu malam di tahun 2002, kala aku kelas 1 SMA, ada sesuatu yang ganjil dan berbeda. Aku diminta untuk pulang dari pesantren, dengan alasan tersembunyi yang membuatku bertanya-tanya. Tak pernah ada cerita aku tiba-tiba disuruh pulang begitu. Itu bukan gaya orang tuaku. Ketika akhirnya aku menjejakkan kaki di rumah, baru kutahu apa yang terjadi...

Sebuah kepulangan besar. Ibuku berpulang ke hadirat-Nya. Itu sebuah pukulan telak bagi kami sekeluarga. Selama beberapa waktu, ada masa aku menganggapnya sebuah kehilangan besar. Tapi itu sudah lama. Waktu mengajarkanku, membuatku bertanya-tanya pantaskah aku menyebutnya begitu. Mengapa kehilangan besar? Sejak awal pun aku tak pernah memilikinya. Lagi pula, bukankah beliau pulang ke rumah yang sebenarnya? Kepada Sang Pemiliknya? Jika aku merenunginya lagi, kepulangan besar itu menjadi sebuah titik belok yang tajam bagi jalan kehidupan keluargaku. Sebelumnya, bisa dibilang jalan itu relatif mulus-mulus saja, lurus-lurus saja. Sejak itu baru kutahu apa artinya “life is never flat”, hidup tak pernah datar. Kehidupan yang banyak konflik seperti cerita drama. Lebih tajam lagi, konflik-konflik hati.
link puisi: Mencari Jalan Pergi
Jadi begitulah mulanya tanda tanya besar mengekori kata pulang ke mana pun aku pergi. Ada masa aku seperti orang jalanan yang tak punya rumah. Jika kenyataannya rumah itu masih ada, setidaknya perasaanku masih bertanya-tanya apa itu rumah? Maka ketika melakukan perjalanan jauh ke mana pun, bila ditanya, “mau pulang, ya?” Aku biasa menjawab, “ya, aku pulang...” Lalu ekor itu muncul dalam hati, “... Setidaknya aku ingin menamainya begitu”. Sedikitnya aku jadi mengerti dan berempati kepada orang-orang nun jauh di perantauan, yang dalam hati sangat ingin pulang, namun ada hal-hal tak kasat mata yang menahan mereka melakukannya. 

Mungkin ibarat semacam orang-orang yang berkarya di luar negeri, lalu jatuh cinta pada tanah asing itu. Sedang tanah airnya sendiri berada dalam kondisi tidak kondusif, yang bakal membuatnya terpuruk karena potensi mereka tidak dihargai, misalnya. Atau seperti orang-orang macam Amir, tokoh dalam novel The Kite Runner yang menemukan kebahagiaan di Amerika, sedang tanah kelahirannya sendiri, Afghanistan, tengah terpuruk oleh perang. Hm, sepertinya itu contoh yang terlalu wah. Tapi aku cuma ingin bilang, aku sedikitnya dapat mengerti kondisi orang-orang macam itu, memang tidak mudah. Ada perbincangan hati, pemikiran-pemikiran, dan benturan-benturan yang sulit terkatakan.

Lebih lanjut, pertanyaan-pertanyaan tentang pulang kerap mengemuka manakala kita melakukan perjalanan jauh. To travel, bepergian. Ketika melakukan traveling, akan sangat terasa bahwa kita ini musafir. Tak hanya musafir dalam artian harfiah yang sempit, melainkan senantiasa pula menghadirkan kesadaran dalam diri akan status kita sebagai musafir lebih dalam. Bukankah dunia ini hanyalah persinggahan yang sebentar? Ketika melakukan perjalanan jauh, berjalan kaki maupun naik alat transportasi, kita menyadari diri kita bergerak, dan melihat bumi ini tak diam. Saat di dalam mobil atau kereta, misalnya. Kita yang menumpang kerap memandang ke jendela, dan melihat apa yang dibilang sebagai relativitas itu. Suasana demikian sudah semestinya menyentak kesadaran akan kefanaan. 

Belum menyebutkan perjalanan berbahaya, baru di perjalanan biasa saja bahaya kecelakaan jalan raya sudah mengintai. Apalagi jika tempat tujuan adalah tempat asing, akan ada rasa was-was dalam hati yang membuat kita berdoa, menggantungkan keselamatan kepada Sang Pemilik kita sendiri. Aku sendiri kalau bepergian jauh begitu, suka sering dihinggapi kilasan bayangan hal-hal buruk yang mungkin terjadi di perjalanan. Maka perjalanan semakin menyentak kesadaran hakiki itu, yang biasanya suka dilupakan kala hari-hari biasa. Namun kadang ada juga kelupaan yang senantiasa menghinggapi para traveler. Terlalu terfokus pada euforia bersenang-senang di tempat liburan, misalnya. Sama seperti halnya kita terlalu fokus pada kesenangan duniawi yang bukan tujuan itu. 
link puisi: Kelana
Bahkan jika itu sebuah liburan, untuk menghilangkan penat dan stres, sudah selayaknya kita memasukkan “tadabur” ke dalam daftar wajib perjalanan. Dengan demikian kita bisa menjadi traveler yang menghormati keindahan alam, tidak terjebak pada kegiatan merusak dan mencemarinya.  Jika kesadaran senantiasa kita bangun dan pelihara, ke mana pun kita pergi, di mana pun kita tinggal, tentunya kita akan selalu berbijaksana. Bahwa kita hanyalah tamu, selayaknya selalu bersopan santun. Juga tak melupakan, bahwa untuk setiap perjalanan, ada rumah yang menunggu. Entah itu rumah yang menyambut kita pulang, atau haribaan yang menjemput kita PULANG (dalam dimensi makna kesejatian)?

Komentar

  1. Sukses buat GA nya..ya...., mari pulang....marilah..pulang bersama2..he2

    BalasHapus
    Balasan
    1. Amiin... Terima kasih, Mak Novi... Mari2... :D

      Hapus
  2. Ya kita adalah tamu yang sudah mengantongi nomer antrian untuk pulang. Postingan yang keren. Salam kenal mampir juga di blog saya ya http://astutianamudjono.blogspot.com

    BalasHapus
    Balasan
    1. Betul, kita sudah mengantongi nomor antrian, tanpa kita tahu itu nomor berapa :). Terima kasih, salam kenal kembali. Oke, meluncur...

      Hapus
  3. Pulang...selalu saja mengingatkanku pada sebuah tempat yang menyimpan cinta tanpa ada habisnya.....home sweet home :)) sukses lombanya mak :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Nah, kan...? Pulang memang ada kaitannya dengan cinta. Mereka berdua sama-sama menyimpan paradoks yang sulit tergembarkan secara utuh. Kadang ada cinta yang bisa disalahfahami, misalnya. :)
      Amiin... Terima kasih banyak, Mbak :)

      Hapus
  4. haloo, mbak.
    pengen mampir berkelana di pemikiranmu, mbak.. boleh? :))

    BalasHapus
    Balasan
    1. Halo, Mbak Anggit... Hm, boleh... Asalkan itu berbentuk teks di blog ini, hehe :)

      Hapus
  5. maakk... suka puisi2 nya mak :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Terima kasih, Mak... Alhamdulillah ada yang suka ^^

      Hapus

Posting Komentar

Tinggalkan jejakmu kala mampir di sini

Popular Posts

Mozaik Bandung: Liburan yang Kacau & Jalan Panjang ke Pondok Hijau

Mencapai Impian dalam Mengelola Keuangan Secara Efektif dan Efisien

Puisi Sapardi, Acep Zamzam, & Bulu Kuduk [Wishful Wednesday #2]