Pendidikan Bersambung
“Katakanlah: sesungguhnya sembahyangku, ibadatku, hidupku dan matiku
hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam.” (QS. Al-An’am: 162)
Pendidikan Islam itu, apapun
bentuk sistemnya, sumber & prinsipnya Al-Quran & Hadits. Ini tak
berarti pendidikan itu jadi sempit artinya sebatas ilmu keagamaan. Sebaliknya,
sebagai khalifah di bumi, manusia perlu dibekali berbagai ilmu pengetahuan.
Al-Qur’an mendorong kita untuk mempelajari ilmu pengetahuan sedalam-dalamnya,
kapan & dimana saja. Menilik sejarah pendidikan Islam, tak ada ceritanya
ilmuwan muslim dikekang oleh agama, sebaliknya malah ilmu pengetahuan tumbuh
subur berdampingan dengan keagamaan. Itulah kiranya yang melahirkan
jenius-jenius multidisiplin macam Ibnu Sina & yang lainnya. Hanya saja
memang ada pembagian & tingkatannya mana ilmu yang wajib dipelajari, mana
yang tidak. Tentu ilmu-ilmu yang berkaitan dengan syari’at mesti diutamakan
daripada ilmu-ilmu non-syari’at. Sebab, tujuan pendidikan dalam Islam muaranya
adalah akhirat. Menurut Al-Ghazali, tujuan pendidikan dapat dibagi 2: jangka panjang
& jangka pendek. Tujuan jangka pendeknya ialah diraihnya profesi manusia
sesuai bakat & kemampuannya. Tujuan jangka panjangnya ialah pendekatan diri
kepada Tuhan Pencipta Alam (buku Al-Ghazali, hlm. 78)
Tulisan ini menyambung cerita
sebelumnya: Pendidikan Non-Stop (& berkaitan pula dengan banyak tulisan
lainnya). Ngobrolin pendidikan emang
sambung-menyambung seperti sifatnya yang kontinu. Bicara sistem pendidikan
Islam, madrasah atau pesantren adalah contoh institusinya. Sudah baca novel
Negeri 5 Menara? Cerita novel itu cukup menggambarkan pernak-pernik dunia pesantren,
sebuah dunia kecil beriklim & budaya pendidikan unik yang berbeda dengan
sistem pengajaran sekolah umum. Seperti diceritakan di novel itu, anggapan umum
tentang pesantren banyak yang miring & miris (tapi semoga sekarangmah udah
nggak ya). Misalnya anggapan pesantren itu tempat “penitipan” anak-anak nakal.
Memang banyak kasus orang tua
yang “tak sanggup” mendidik sendiri atau terlanjur kewalahan dengan kenakalan
anak menggantungkan harapannya ke pesantren. Mind-set ortu begini kurang tepat,
karena madrasah terbaik pertama bagi anak adalah rumah. Tanggung jawab mendidik
dasar-dasar akhlak sejak dini itu kewajiban orang tua. Jika sudah tertanam
akhlak yang baik, ilmu-ilmu yang diajarkan di pesantren akan lebih mudah
terserap. Sementara anak yang belum terdidik akhlaknya sejak awal, biasanya
sulit beradaptasi dengan kultur pesantren yang “ketat”, & motivasinya
menuntut ilmu pun kurang (konsentrasinya terpecah). Pesantren besar umumnya
banyak sekali santrinya, bisa sampai ribuan. Jadi memang tak mungkin mengawasi
1 orang murid sedetail pengawasan ortu di rumah. Dinamika hidup di pesantren
itu banyak sekali ujiannya, melatih ketahanan mental. Kalau anak menuntut ilmu
serba terpaksa, yang ia pikirkan akan cuma ingin pulang & melanggar peraturan...
Banyak faktor yang menghalangi masuknya cahaya ilmu, diantaranya jika akhlak
murid buruk terhadap guru. Coba deh baca biografi para jenius haus ilmu macam
Imam Syafi’i. Sebelum dilepas menuntut ilmu, masa kecilnya penuh didikan dari
sang ibu.
Berhasil tidaknya pendidikan
islami tidak bisa bergantung sepenuhnya kepada madrasah/pesantren. Proses pendidikan itu terus menerus sepanjang hidup di kehidupan sehari-hari, yang justru
sering kita lupakan. Kesibukan, keadaan, dan lingkungan sering bikin kita
melupakan. Semua manusia kan pasti diuji, termasuk ulama bahkan Nabi sekalipun.
Hanya, buat kita-kita yang ilmunya masih secuil, seringkali kondisi imannya
fluktuatif. Jadi memang harus terus mendidik islami diri lagi dan lagi. Meski
jatuh-bangun, terus bangkit lagi. Dan
daripada terlambat, harus dimulai saat ini. Mencermati tujuan akhirnya, berhasil
tidaknya pendidikan yang sesungguhnya yang mampu menilai hanyalah Dia, Sang Penguji sendiri.
benar, bersumber dari Al-Qur'an dan Al-hadits bukan berarti mengekang sebatas bahas agama, banyak koq yg membahas tentang displin ilmu lainnya di dalamnya, itu jika kita mau mempelajarinya...
BalasHapusdan benar juga, seharusnya pesantren bukan tempat pelampiasan kekecewaan orang tua yg mendidik anak, seharusnya pertama kali itu mendidik anak sendiri, kalo dirasa ilmu yg diberikan orang tua sudah sebatas itu, maka barulah melanjutkan ilmu yg lebih tinggi. bukankah harapan orang tua seharusnya untuk anak (generasi selanjutnya) yg lebih baik dari orang tua (generasi sebelumnya)
Terima kasih komentarnya, JIM. Iya, begitulah. Intinya sih pendidikan itu sepanjang hayat. Kalau toh orang tua terlanjur merasa kewalahan ya seharusnya yang dididik bukan hanya anak, tapi orang tuanya juga harus rajin belajar lagi :D. Karena pendidikan yang paling manjur di rumah ya dengan teladan ortu. Dengan begitu setelah anak lulus & pulang ke rumah, ortunya meneruskan pendidikan sepanjang hayat itu di kehidupan sehari-hari biar pendidikannya ga stop, jalan terus... :)
BalasHapus