Mikir Dong!
“(yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk
atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan
tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): "Ya Tuhan kami,
tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, maka
peliharalah kami dari siksa neraka.” (QS Ali Imran: 191)
Tadi siang saya marah-marah sendiri
dalam hati. Kesal baca artikel tentang salah satu tayangan TV ini: http://mizan.com/news_det/yuk-keep-smile-antara-goyangan-lelucon-kasar-dan-senyuman-miris.html.
Memang sih, ini bukan kali pertama saya mendengar respon negatif tentangnya.
Meski tak pernah nonton sendiri, celoteh teman-teman blogger & sosmed
tentang betapa tak mutunya tayangan ini sudah cukup bikin saya maklum. Apalagi
sudah ada petisi dari change.org yang mendukung distop-nya acara ini. Saya bisa
membayangkan seberapa parahnya. Yang bikin kesal adalah dalih pembelaan dari PR
Manajer stasiun TV itu: tayangan macam begini pemersatu bangsa? Cius? Ini orang
GAK MIKIR apa? Biarin ajalah negeri lain jadi terkenal gara-gara sebuah
goyangan, apa negeri kita mau ikut-ikutan, lantas menduniakan sesuatu yang
murahan? Aduh, mikir dong...! Memangnya negeri kita kekurangan kekayaan intelektual
& budaya yang “mahal” apa?
Dalih itu kedengarannya mencederai
moral & intelektual (serius!). Jika memang dunia pertelevisian kita sedang
menuju kehancuran, saya sangat mengerti sekarang inisiatif orang-orang yang
meng-absenkan TV dari rumahnya. Saya sendiri sudah beberapa tahun tidak bergaul
dengan TV, meski bukan orang yang anti terhadap hiburan. Hanya saja akhir-akhir
ini yang dinamakan hiburan TV itu sudah tak lagi menghibur. Jangankan
muluk-muluk mengharapkan tayangan mendidik, tayangan menghiburpun sudah garing
atau mungkin melempem.
Eh, kok jadi ngomongin TV ya?
Padahal mau ngobrolin tentang kata “memikirkan” kok. Karena kata-kata ini
banyak bertebaran di Al-Qur’an. Tidak ada yang Dia ciptakan sia-sia, sekecil
apapun itu, semua bisa jadi media untuk manusia memikirkan tanda-tanda
kebesaran-Nya. Dan ngomong-ngomong, ayat tadi itu definisi dari ulul albab (orang-orang yang berakal)
yang disebut di ayat sebelumnya (QS Ali Imran: 190). Di tulisan terdahulu, saya
banyak menyinggung isyarat-Nya mendidik manusia lewat proses berpikir. Manusia
dianugerahi otak yang demikian canggih tentulah untuk dipakai memaksimalkan
potensi dirinya sebagai makhluk berakal. Jadi memang benar bahwa otak yang
dibiarkan “orisinal” lama-lama justru cepat karatan. Sebaliknya, jika otak
terus dilatih aktif lama-lama justru lebih awet.
Tak mengherankan jika aktivitas macam membaca
dan menulis termasuk latihan otak yang bermanfaat menumbuhkan neuron yang
menghubungkan jaringan informasi. Sudah banyak penelitian mengenai latihan otak,
salah satu artikel tentangnya misalnya: Brain Exercise Provides Benefits at Any Age. Di situ disebutkan, jika otak tidak cukup dipakai untuk kejutan-kejutan
informasi baru, perlahan-lahan ketajaman otak akan menurun. Paradoksnya,
menurut Dr. Michael Merzenich, budaya modern (yang katanya melek informasi)
justru turut berkontribusi terhadap penurunan ini. Alasannya karena budaya
instan itulah, di mana segala sesuatu menjadi sesederhana memencet
tombol-tombol. Juga budaya “terbiasa”, seperti halnya orang dewasa yang melihat
segala hal sudah biasa, tak ada kejutan-kejutan seperti yang ditemukan pikiran
anak-anak. Akibatnya, usia dewasa rentan terjebak pada kehidupan tanpa
pembelajaran baru.
Terpujilah Dia yang mendidik kita dengan
proses. Dimana-mana proses itu sesuatu yang berharga.
“Seekor anak ayam,
begitu ia lahir akan (segera) dapat mencari sendiri remah-remah (makanan)nya.
Sementara bayi manusia, bodoh tentang tujuan & alasan dilahirkan. Tetapi,
akal anak ayam tidak pergi lebih jauh daripada remah-remahnya, sementara
kebijaksanaan manusia dapat menyingkap seluk-beluk keabadian.” --Sa’di, penyair
Karena terlanjur ngomongin TV,
teringat kutipan satir ini:
“I find television
very educating. Every time somebody turns on the set, I go into the other room
and read a book.”
― Groucho Marx
― Groucho Marx
hehe sabar mbak, sabar...
BalasHapusitu pula salah satu alasan saya tidak suka nonton tipi :D
salam
hehehe . . . . memang media sangat berpengaruh di era moderan saat ini ya . . . untung saya jarang nonton tv . . .
BalasHapusaritunisa: ah, iya... hehe... jadi esmosi sendiri :D. Memang beralasan sekali, Mbak... :)
BalasHapusSinna: Ehm iya. Meski lama ga gaul sama tipi Alhamdulillah ga rugi apa2. Paling2 dibilang "gak gaul" hanya karena ga ngerti istilah2 atau gosip baru yg ga penting :D