Konflik: Antara Novel, Sinetron, & Kenyataan
“Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit
ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah
berita gembira kepada orang-orang yang sabar.” ( QS. Al-Baqarah: 155)
Sebagai seorang pembaca novel,
saya kerap mengharapkan novel yang saya baca menyajikan konflik yang
mengejutkan. Kadang-kadang, biar pun ceritanya enak dibaca atau pun
menginspirasi, tanpa konflik yang diramu cantik rasanya ada yang kurang. Lain
lagi halnya dengan sinetron. Banyak orang tak suka sinetron bukan karena tak
ada konfliknya. Sebaliknya, biasanya biar seru & bikin penonton penasaran,
banyak sekali konflik mengelilingi tokoh-tokohnya. Mulai dari cinta yang
ditentang orang tua, rebutan warisan perusahaan, anak yang hilang atau
tertukar, hingga tokoh yang kecelakaan terus hilang ingatan.
Orang menyukai konflik cerita. Tampaknya
konflik memainkan peranan penting dalam membangun struktur cerita. Cerita orang
sukses yang awalnya berkali-kali gagal atau merangkak dari bawah biasanya lebih
membuat orang terkesan dibanding kesuksesan yang diperoleh dengan kemudahan.
Begitulah cerita. Bagaimana dengan kenyataan? Bukankah cerita juga asalnya
ekstraksi dari pengalaman, bahkan fiksi juga cerminan dari realitas kehidupan?
Iklan bilang, “life is never flat”.
Namun sekalinya kita kena guncangan, apakah kita masih sama seperti pembaca
novel atau penonton sinetron yang menggemari konflik? Seringnya, sebagai pelaku
konflik kita lupa untuk sejenak keluar dari kabut emosi lalu duduk sebagai pembaca
atau penonton. Pembaca atau penonton, meski seringkali terpengaruh emosi
cerita, mereka biasa masih menggenggam sudut pandang lain. “Ih, harusnya dia
jangan terlalu lebay,” misalnya, berkomentar atau mengkritik kelemahan tokohnya.
Orang bilang, masalah itu bumbu
kehidupan. Namun, begitu ujian datang seringnya keluhan demi keluhan menguasai
diam-diam. Lalu pertanyaannya, dapatkah kita menggenggam erat tameng kesabaran.
Terusnya kita biasa mulai mempertanyakan batas kesabaran. Suka lupa, ujian itu
datang buat memberi kita pelajaran. Kata ustaz, hanya orang yang mendekatkan
diri kepada-Nya yang mampu sabar. Dekat dengan-Nya memang tak menjamin ujian
sakit menjadi hilang. Yang hilang bukan sakitnya, melainkan deritanya. Pun tak
menjamin masalah jadi beres. Yang hilang bukan masalahnya, namun “kegalauan”nya.
Ada orang berdoa meminta kesabaran, yang datang malah ledakan emosi gegara orang-orang
di sekitar tingkahnya menjengkelkan. Layakkah protes? Sedangkan doanya tengah
dipertemukan dengan jawaban...
Nasihat ustaz membuat saya
berkaca, banyak pelajaran luput dari mata saya. Konflik/masalah/ujian
sebenarnya adalah cara-Nya yang sungguh elegan buat mendidik kita. Meski kun fayakun ialah kuasa-Nya, namun Dia lebih menghendaki kita belajar pake proses
ketimbang sim salabim alias instan. Bukannya diberi ikan, kita malah diberi-Nya
umpan. Seperti rezeki yang tak turun sekonyong-konyong dari langit, seperti
hidayah & ilmu yang tak ujug-ujug datang merangkul kita. Yang Dia beri
adalah fasilitas. Eksekusinya urusan kita sendiri, toh sudah dikasih akal
pikiran dan hati.
Kenapa banyak orang benci sinetron?
Banyak yang tak masuk akal, katanya. Pun novel yang dituding tak bermutu:
penyelesaian konfliknya terlalu mudah!
saya bingung baca artikel ini, sebetulnya yg dipermasalahkan konfliknya, realitanya atau konflik dalam sinetron? kayaknya semua dibahas jadi satu tapi ga ada satupun yg menitik beratkan pada inti masalah, yaitu konflik. tapi cenderung menyatakan pendapat penulis dalam 3 kategori di atas
BalasHapustadinya saya kira penulis memberi tips cara membuat konflik dalam cerita, ternyata yg ditulis adalah pendapat penulis dan kaitannya dengan ajaran agama
Wah, tulisan ini memang tidak dimaksudkan untuk membahas tips membuat konflik dalam cerita. Juga tidak hendak menitikberatkan mempermasalahkan konflik/realita dlm sinetron. Ini cuma tulisan renungan tentang ujian konflik dlm kehidupan.
HapusAnyway, terima kasih sudah membaca :)