Jalan Lurus (1)
“Adapun orang-orang yang beriman kepada Allah dan berpegang teguh
kepada (agama)-Nya niscaya Allah akan memasukkan mereka ke dalam rahmat yang
besar dari-Nya (surga) dan limpahan karunia-Nya. Dan menunjuki mereka kepada
jalan yang lurus (untuk
sampai) kepada-Nya.” (QS An-Nisaa’: 175)
Berbicara tentang jalan lurus,
pikiran saya jadi bercabang-cabang :D. Saya jadi teringat cerpen karya sastrawan
kita, Pak Sapardi Djoko Damono berjudul Jalan Lurus. Itu sebuah cerpen yang menarik,
mengambil sudut pandang Si Jalan Lurus sebagai tokoh aku yang berbicara tentang
dirinya sendiri. Cerpen itu dibuka dan ditutup dengan kalimat, “Aku adalah sebuah jalan, Jalan Lurus
namaku.” Jalan Lurus ini berceloteh tentang ketakmengertiannya tentang
namanya sendiri. Dia mengaku capek sebenarnya karena harus terus menerus lurus
apapun yang terjadi. Meski dia sendiri mengakui bahwa namanya memang indah,
setidaknya dibandingkan dengan Jalan Berkelok atau Jalan Menikung, apalagi
Jalan Buntu. Puncak ketakmengertiannya adalah pertanyaan mengapa orang-orang
terus-terusan menyebut-nyebut namanya entah berapa kali sehari, katanya. Sebab
orang-orang itu seakan tak mau tahu akibatnya, seperti cuma menjadikannya
rutinitas tanpa mengerti konsekuensi maknanya. Simak saja paragraf akhir
sebelum penutupnya: “Bayangkan, aku harus
lurus terus meskipun mendaki bukit, menuruni lembah, menyeberang padang, dan
menempuh gurun dan tentu tidak ada diantara mereka yang mau tahu jika pada
suatu hari nanti aku capek dan tak bisa berbuat lain kecuali ikut-ikutan
menyebut-nyebut namaku sendiri, entah untuk apa.”
Source: stockvault.net |
Padahal kita tahu, kata lurus itu sendiri sering berkonotasi sebagai “yang
baik-baik”, yang benar, lempeng. Misalnya Nabi Ibrahim yang hanif, sering
diterjemahkan sebagai “seorang yang lurus”. Contoh QS Ali Imran: 95. “Katakanlah: "Benarlah (apa yang
difirmankan) Allah". Maka ikutilah agama Ibrahim yang lurus, dan bukanlah dia termasuk orang-orang yang
musyrik.” Juga, jalur garis lurus itu lintasan tempuh yang lebih pendek
jaraknya dibanding jalur melengkung atau memutar. Memang, kita bisa saja sampai
ke rumah lewat jalan muter & banyak belokan karena terhalang rumah-rumah,
misalnya. Tapi kalau ada gang tikus yang motong jalan sehingga gak pake muter ‘kan
lebih cepat sampainya. Bayangkan jika sepanjang jalan kita banyak
menclok-menclok, nongkrong-nongkrong dulu, terus keasyikan bergosip hingga lupa
waktu. Lebih ekstrim kalau tersesat. Duh, kapan sampainya?
Enthalpy Diagram (docbrown.info) |
Seperti Hukum Konservasi Energi yang
bilang bahwa energi tidak dapat diciptakan atau dimusnahkan, tapi bisa
berubah-ubah bentuknya. Tak peduli lintasan, hanya peduli awal-akhir. Kesannya
simpel, tapi toh karena energi jalan-jalan dulu dari satu bentuk ke bentuk lain
maka itu yang bikin pusing sewaktu ngerjain soal ujian fisika, hehe. Juga
seperti Hukum Hess yang menyajikan fakta bahwa entalpi proses reaksi kimia
tidak bergantung pada jalur reaksi yang ditempuhnya. Jalur reaksinya bisa saja
dipecah-pecah menjadi banyak tahap melingkar. Tetap saja, tahap-tahap reaksi
itu bikin kita berhenti-berhenti ngitung satu-satu, tak secepat jalur lurus
yang sudah diketahui entalpi reaksi awal dan akhirnya.
dalem mak...jalan lurus sampai reaksi kimia
BalasHapusHehe... Konsep jalan lurus memang dalem, Mak... seperti karya sastra Pak Sapardi. Kalau kimianya itu aku nyambung-nyambungin ajah, hihi :D
BalasHapusTerima kasih sudah berkunjung & berkometar :)