Irit Ala Bapak



Jaman sekarang kita dibombardir serangan gaya hidup konsumtif ya. Mau berhemat tuh banyak tantangannya. Mulai dari belanja, pemakaian barang-barang kebutuhan rumah-tangga, sampai sekelas pemborosan energi & uang negara (ups!). Tapi kalau ngomong-ngomong soal irit di keluarga, tak bisa tidak keingetan bapak. Bapakku selalu menasehati untuk hidup irit. Eh, kalau dipikir-pikir lagi, inspirasiku nulis tuh seringnya ibu. Lagi-lagi ibu. Dih, jadi diskriminatif begitu deh. Okelah, untuk cerita irit ini aku mau “featuring” bapak. Hehe...
source: pixabay.com
Ini cerita nostalgia, jadul banget. Waktu itu aku masih SD, entah kelas berapa lupa. Ceritanya kita mau beli sepeda. Belinya agak jauh, ke Kuningan kota (atau ke Ciledug, Cirebon gitu ya? Aku sudah lupa). Kami tinggalnya di sebuah desa di Kabupaten Kuningan yang letaknya paling timur, perbatasan dengan Brebes, Jawa Tengah. Jarak rumah kami ke Kuningan kota perlu waktu tempuh sekitar 2 jam atau lebih kalau pakai mobil. Aku tak terlalu ingat tentang perjalanan berangkatnya. Yang susah dilupakan adalah perjalanan sepulangnya beli sepeda.

Samar-samar kuingat sewaktu mau pulang, bapak sempat nanya-nanya berapa ongkos ke kernet kendaraan umum. Jawabannya tampak membuat bapak nyengir aneh, mungkin mahal ataukah uangnya tak cukup atau bagaimana, aku tak tahu-menahu. Tahu-tahu kami tak jadi naik kendaraan umum. Dan, tadaaa... Guess what? Akhirnya kami pulang berkendara sepeda yang baru dibeli. Waktu itu aku sungguh polos, tak banyak nanya hanya terheran-heran dalam hati. Ini perjalanan segini jauh, kok rasanya gak nyampe-nyampe... Apa bapak serius mau ngayuh sepeda terus sampai rumah? Kira-kira begitulah yang kupikirkan. Dan memang benar, setelah perjalanan entah berapa jam lamanya ujung-ujungnya sampai juga di rumah, sepanjang jalan full bersepeda. Aku tak bisa melupakan rasa pegal-pegal, haus, & lelah di perjalanan. Padahal aku cuma duduk di boncengan. Apa kabarnya bapak yang mengayuh sepeda? Ya ampun... Susah dipercaya. 

source: stockvault.net
Perjalanan itu aku tak tahu jaraknya berapa, soalnya bapak memilih jalur yang tidak biasa. Entah apakah itu jaraknya lebih pendek atau tidak, seumur-umur baru kali itu aku bepergian ke arah Kuningan lewat jalur itu. Jika biasanya ke Kuningan jalurnya ke arah barat, kami memakai jalur lewat utara. Jalur utara itu tempatnya perkampungan-perkampungan, daerahnya dulu masih berhutan selain diselingi persawahan. Seingatku, jalanannya menanjak-menurun. Ya ampun... pokoknya capek banget membayangkan bersepeda dulu itu. Ketika ketemu warung nyempil di perjalanan, kami berhenti rehat. Sewaktu turun dari sepeda, aku masih ingat betapa kakunya kakiku. Rasanya begitu lelah sampai-sampai menggerakkan kaki untuk melangkah saja seperti tak ada tenaga. Bapak langsung beli beberapa plastik minuman es. Satu plastik langsung tandas & tampaknya belum cukup memuaskan dahaga. 

Sepulangnya ke rumah, aku cuma bisa berceloteh heran kepada ibu. Tanggapannya cuma senyum-senyum. Jadi hingga kini aku tak tahu apakah dulu itu kita sedemikian kekurangan ongkos ataukah bapak yang iritnya kebangetan, hehe. Ibuku tak pernah mengeluh masalah keuangan di depan anaknya, soalnya. Ini sih cerita irit tingkat “ekstrim” ya :D. Meski akhir-akhir ini banyak orang back to bike, sengaja bersepeda berkilo-kilometer tapi ceritaku lain. Sekarang sesudah gak gitu-gitu amat, bapak masih terus menghimbauku untuk beririt. Contohnya waktu kuliah, sedapat mungkin jalan kaki karena kosannya di daerah dekat kampus. Begitulah, aku bukan termasuk cewek manja yang malas berjalan jauh. Meskipun kadang-kadang kalau lagi males suka ngangkot juga, sih :D. Kalau saja punya sepeda, aku akan memaksimalkan penggunaannya, sekalian ramah lingkungan.

Sebenarnya ada banyak tips & trik irit selain cerita “ekstrim”ku tadi & membudayakan jalan kaki. Karena kehidupanku  diwarnai oleh kondisi-kondisi rawan “kanker” seperti pernah nyantri & jadi anak kost. Sayangnya aku menulis ini dalam rangka meramaikan giveaway “irit tapi bukan pelit”, yang kucermati persyaratannya 1 cerita saja. Lagipula ceritanya udah panjang juga. Oh, iya kalau boleh nambahin pesan: kalau berwudhu’ di tempat umum, bukalah keran air secukupnya saja. Hemat itu jangan cuma di rumah sendiri saja, tapi juga di tempat umum ya...

Bapakku tak bosan-bosan nasehatin untuk irit. Meski begitu, kalau untuk makan aku dianjurkan tak beririt-irit. Suruhnya makan secukupnya, terutama sekarang karena aku kurus. Hihi... :D. Lagian kalau soal makan sebenarnya yang harus dikurangi itu berlebih-lebihannya, dan jajannya :P. Apapun yang berlebihan itu gak bagus lah ya...

Tulisan ini diikutsertakan pada Giveaway Irit tapi Bukan Pelit yang diadakan oleh Kakaakin.

Komentar

  1. kita beda cerita ya :D sejak aku kena asma, udah jarang naik sepeda ke tempat yang jauh, paling yang deket2 aja ga sampe setengah kilometer. udara dinginnya bikin asmanya gampang kambuh. jd akhirnya pake angkot aja

    BalasHapus
  2. Saya juga tukang ngangkot kok, Mbak Ila... Sekarang saya tak punya sepeda. Sekarang ini di Bandung kegiatan Back to Boseh sudah semarak lagi, plus Pak Walikota ngadain program Jum'at Bersepeda utk mengurangi macet & polusi. Kebayang kan, gimana kangennya aku sama sepeda... Di kampungku saja sekarang jarang org bersepeda, gak kayak dulu. Hampir semua orang punya motor...

    *Ngidam sepeda

    BalasHapus
  3. Punya pengalaman serupa sih, aku pernah gendong2 anak demi pergi ke jalan besar untuk naik angkot di Manado. Jarak rumah-jalan besar cuma 100 m, tapi nanjaknya lumayan sekali. Opsi lain kalau nggak mau nanjak? Naik taksi :D tapi ya ongkosnya beda he he, naik taksi 30ribu, PP 60ribu. Kalau naik angkot PP cuma 12ribu hihihi.

    BalasHapus
  4. Wah, Mbak Heni... mahal bangettt... Bahkan angkotnya juga mahal banget... Jarak segitu sekali jalan 6 ribu? ya ampun... Di sinimah segitu tuh kalo ngangkot full trayek. Pantas kalau kantong cepet bolong itumah :(

    BalasHapus
  5. Padahal waktu sekolah dulu aku naik sepeda. Jarak rumah sekolah 4 km, lewat padatnya pantura, berteman dengan asap bus AKAP. Setelah tua ini jadi manja, ke warung aja ujung gang aja gak mau jalan kaki. Endut jadinya.

    BalasHapus
  6. Hehehe... Mbak Lusi, justru sekarang tuh jalan kakinya harus dilestarikan lagi, sekalian diet & olah raga :D. Hebat, 4 kilo. Biasanya beberapa ratus meter saja sudah capek...

    BalasHapus
  7. Terima kasih sudah berbagi di giveaway irit tapi bukan pelit :)

    Salam,
    @apikecil

    BalasHapus
  8. Sama-sama, Apikecil. Saya jadi banyak inspirasi juga dari tips & trik teman2 peserta lain.

    Salam kembali :)

    BalasHapus

Posting Komentar

Tinggalkan jejakmu kala mampir di sini

Popular Posts

Mozaik Bandung: Liburan yang Kacau & Jalan Panjang ke Pondok Hijau

Budidaya Maggot BSF, dari Solusi Darurat Sampah Hingga Industri Hijau Berkelanjutan

6 Tips Memilih Villa agar Liburan Aman dan Menyenangkan