Guru: Sang Pemberi



“Allah menyatakan bahwasanya tidak ada Tuhan melainkan Dia (yang berhak disembah), Yang menegakkan keadilan. Para Malaikat dan orang-orang yang berilmu [188] (juga menyatakan yang demikian itu). Tak ada Tuhan melainkan Dia (yang berhak disembah), Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (QS Ali Imran: 18)

[188] Ayat ini untuk menjelaskan martabat orang-orang berilmu.

Guru. Profesi ini sungguh mulia, & sangat berat tanggung jawabnya. Apalagi di era sekarang ketika pendidikan generasi muda bangsa menghadapi rintangan yang semakin njelimet saja. Apapun bidang keilmuan yang dipelajari seseorang, pendidikan moral tetap menjadi prioritas. Ini terbukti dengan kondisi jaman sekarang, ketika moralitas tampak seperti terseok-seok tertinggal jauh di belakang intelektualitas. Hasil bacaan & renungan saya bagaimanapun juga tak terlepas dari konsep pendidikan Islam. Karena saya seorang muslim, mau dipikir jungkir-balik juga bagi saya pendidikan ideal adalah yang merujuk Al-Qur’an & sunnah. Kini melihat banyak persoalan diri & sekitar membuat saya tersadar bahwa filosofi pendidikan Islam itulah yang terbaik. Ajaran moralnya menyeluruh, langsung bersumber dari-Nya & rasul-Nya.

Kutipan Ali bin Abi Thalib RA. Sumber: link
Membincangkan guru jadi bernostalgia ke jaman belajar di pesantren. Guru-guru saya banyak yang dari sana soalnya. Banyak kontras antara idealisme pendidikan dengan realitas. Salah satunya, penghormatan murid kepada gurunya. Guru itu seseorang yang sesungguhnya sangat berarti di episode kehidupan kita. Seseorang yang bersedekah ilmu kepada kita (sesedikit apapun), sehingga dalam keilmuan & pengalaman, tangan guru di atas tangan kita yang menerima. Yang disedekahkannya itu (ilmu) lebih kaya daripada harta. Tak heran pendidikan Islam menjunjung tinggi akhlak terhadap guru. Dalam Islam, ilmu itu sendiri dijunjung tinggi martabatnya, sebab ilmulah yang membedakan manusia berakal dengan makhluk lainnya. Ilmu dengan akal pikiran & hati itu berjodoh, menerangi kita dari gelap kebodohan.

Tujuan pendidikan Islam bermuara pada akhirat, sehingga otomatis ilmu keduniawian yang dipelajari juga tetap berkerangka tujuan akhirat. Ilmu dimaknai semendalam fungsinya sebagai sarana mendekatkan diri kepada-Nya, Sang Pemilik kebenaran. Makanya di pesantren, murid diberi pengertian mendalam tentang penghormatan kepada guru. Sudah sewajarnya, apalagi ketika ilmu yang dipelajari sifatnya syar’i. Menuntut ilmu demikian wajib hukumnya, sepanjang hayat, & merupakan ibadah yang tinggi derajatnya. Konsekuensinya, wajar jika metode belajar dirumuskan dengan keserbahati-hatian. Tak sembarangan, ada adab-adabnya. Ambil contoh sebuah kitab yang umum dipelajari di pesantren, Ta’limul Muta’allim (Bimbingan Bagi Penuntut Ilmu Pengetahuan). Di dalamnya dibahas pernak-pernik menuntut ilmu, termasuk akhlak menghormati guru. Saya menemukan blog yang memposting terjemahannya, bisa dibaca di sini.

Kalau menurut Al-Ghazali, akhlak murid sebelum belajar pertama harus membersihkan jiwa dari akhlak tercela. Sebab menuntut ilmu itu ibadah batin, sebagaimana shalat perlu wudhu’ dulu (bersuci). Ilmu juga cahaya, takkan memasuki jiwa yang kotor. Al-Ghazali mengisyaratkan bentuk seleksi yang tak mengandalkan kecerdasan intelektual semata, melainkan juga kriteria akhlak. Inilah bedanya dengan sistem pendidikan umum. Sebab jika tak mengindahkan akhlak, berpotensi lulusannya cuma pintar tapi tak bermoral (contoh pejabat korup). Akhlak murid kedua, meminimalkan keterkaitan diri dengan kesibukan dunia supaya konsentrasi tak pecah & terganggu hal-hal negatif. Ketiga, murid harus mempercayai & menghormati gurunya, tidak sombong. Tak boleh membantah guru, di pendidikan modern kesannya tak demokratis & dianggap mendewakan guru. Padahal kalau ditelaah mendalam, maksudnya untuk menjaga kewibawaan guru. Murid bisa saja lebih pintar atau benar daripada guru. Namun mendebatnya berlebihan (tak sopan) sehingga mempermalukannya di depan murid-murid lain akan menghancurkan kepercayaan. Timbal baliknya, jika murid saja dituntut berakhlak demikian, apalagi guru yang mengajarkan. Jadinya harmoni pendidikan. Idealnya begitu. Realitasnya sih kembali ke masing-masing yang menjalani.

 lagu tentang guru yang saya suka :)


Komentar

Popular Posts

Mozaik Bandung: Liburan yang Kacau & Jalan Panjang ke Pondok Hijau

Mencapai Impian dalam Mengelola Keuangan Secara Efektif dan Efisien

Puisi Sapardi, Acep Zamzam, & Bulu Kuduk [Wishful Wednesday #2]