Expectation vs Reality
“Jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu. Dan sesungguhnya yang
demikian itu sungguh berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyu',” (QS
Al-Baqarah: 45)
Kesetrum lagi.
“(yaitu) orang-orang yang meyakini, bahwa mereka
akan menemui Tuhannya, dan bahwa mereka akan kembali kepada-Nya.” (QS Al-Baqarah:
46)
Kesambar petir.
Aku semakin
melihat kegelapan dalam diriku. Aku terlempar lagi ke jurang gelap tanpa dasar.
Semakin aku harus merangkak lagi buat memetik cahaya yang sesungguhnya di depan
mata.
Gregetan, gemes, sedih, malu, bingung, nano-nano
rasanya. Shalat saja masih sering terasa beratnya. Sudah dipanggil adzan saja
masih suka menundanya. Ayat di atas menyatakan, sungguh berat, kecuali bagi
orang-orang yang khsusyu’. Ini lagi. Khusyu’, alangkah sulit rasanya mencapai
itu. Jadi galau deh. Mungkin karena ini saling berhubungan kali ya? Karena
tidak khusyu’ maka shalat jadi berat. Sebaliknya, bagi orang-orang yang khusyu’
tidak akan berat. Pantas saja, orang yang khusyu’ dalam shalatnya berhasil “melihat”
Allah di hadapannya, atau minimal berhasil larut dalam penghayatan bahwa Allah
sedang melihatnya.
Beratnya shalat & sulitnya khusyu’ ini adalah
penyakit yang memang umum mengidap manusia. Apalagi jaman sekarang,
sampai-sampai sambil shalat saja bisa bikin status facebook: “sedang rakaat
kedua” :D. Euh, ada-ada saja. Dalam buku The Secret of Sholat: Energi Dahsyatdi Balik Bacaan & Gerakan juga disinggung mengenai hal ini (sepertinya buku ini harus aku baca ulang
deh!). Di buku ini disebutkan perkataan
Hudzaifah, “Yang pertama hilang dari diri dan agama kalian adalah khusyu’, dan
yang paling akhir hilang adalah shalat. Banyak orang shalat, tetapi tidak ada
kebaikan di dalamnya. Jika kalian masuk masjid, hampir-hampir kalian tidak akan
mendapati satu orang pun yang khusyu’.” (hlm.112)
Masih menurut buku The Secret of Sholat, khusyu’
dalam shalat merupakan sebuah keadaan batin
seorang hamba yang hanya terpaut pada Sang
Pencipta, Tuhan tempat dia menghadapkan hati dan wajahnya (hlm 115). Agungnya
nilai khusyu’ tersirat dari kutipan menarik berikut:
“Khusyu’ ada di dalam hati sedangkan buahnya adalah
amal perbuatan anggota badan. Anggota tubuh mengikuti hati. Jika hati tak lagi
khusyu’, baik karena lalai maupun bisikan setan, maka ibadah anggota badan pun
menjadi rusak. Hati ibarat seorang raja sedangkan anggota badan yang lain
adalah tentara yang selalu mematuhi perintah rajanya. Jika raja enggan
mengawasi, maka tentara-tentaranya akan bekerja menurut kemauan mereka sendiri.
Jika hati tidak mengawasi peribadatan, niscaya anggota tubuh akan beribadah
semaunya.” –hlm. 113
Pencapaian khusyu’ sedemikian agung, pantas saja
shalat dapat mencegah perbuatan keji & mungkar. Rasanya kalau seseorang
sudah bisa mencapai khusyu’, tentu mengerahkan konsentrasi untuk hal-hal lain
pun tak akan sulit. Balik lagi ke diri sendiri, suatu ketika aku pernah bikin
puisi tentang harapan untuk khusyu’ ini yang bahasanya sungguh aduhai :D. Ini
puisinya:
Anggaplah puisi itu sebagai ekspektasi. Realitanya
adalah ironi. Dan aku juga pernah bikin puisi tentang ini:
Saat kusapa
Engkau dengan takbir
Kutahu aku
berdiri di pintu-Mu
Lalu iftitah
yang terpatah-patah
Dan fatihah
tanpa fasihah,
surat pendek
yang semakin pendek...
Lekas ruku’,
dan aku tersentak
Dari lamunan
entah sejak kapan
Dalam i’tidal
aku terpaku
Tiba-tiba aku
telah rebah di atas sajadah
Oh, inikah
sujud?
Dan aku malu
dalam simpuhku di hadap-Mu...
Inikah yang
kunamakan rindu?
(Januari
2004)
Oh No... Kedua puisi lama yang bertolak belakang itu
bisa dianggap sebagai expectation vs
reality :(.
Komentar
Posting Komentar
Tinggalkan jejakmu kala mampir di sini