Confession (bag. 2)
“Katakanlah:
"Siapakah yang lebih kuat persaksiannya?" Katakanlah:
"Allah". Dia menjadi saksi antara aku dan kamu. Dan Al-Qur'an ini
diwahyukan kepadaku supaya dengan dia aku memberi peringatan kepadamu dan
kepada orang-orang yang sampai Al-Qur'an (kepadanya). Apakah sesungguhnya kamu
mengakui bahwa ada tuhan-tuhan lain di samping Allah?" Katakanlah:
"Aku tidak mengakui." Katakanlah: "Sesungguhnya Dia adalah Tuhan
Yang Maha Esa dan sesungguhnya aku berlepas diri dari apa yang kamu
persekutukan (dengan Allah)".” (QS Al-An’am: 19)
Ini sambungan tulisan Confession (bag. 1), yang membincangkan
tentang kata “confession”, pengakuan
yang beranak panah ngaku-ngaku. Saya bilang ada 5 anak panah, maka ini 4 anak
panah yang lainnya.
Pengakuan => Keimanan
Keimanan sih jelas menyaratkan &
melibatkan pengakuan. Pengakuan itu diawali kesaksian yang diucapkan, yakni
kalimat syahadat, disertai pengakuan oleh hati, dibuktikan oleh perbuatan
anggota badan. Sebagai sebuah pengakuan, keimanan lagi-lagi menuntut bukti, overlap dengan pengakuan cinta
kepada-Nya & rasul-Nya. Saya menemukan sebuah catatan ngaji tentang
syahadat ini. Ada beberapa poin urgensi seorang muslim bersyahadat. Pertama,
pintu masuk ke dalam Islam. Kedua, syahadat itu konklusi (inti) ajaran Islam.
Yakni prinsip Laa ilaaha illallah
(syahadat tauhid, kesaksian bahwa tiada Tuhan selain Allah) merupakan prinsip
totalitas keikhlasan, segalanya hanya untuk Allah. Prinsip wa ashyadu anna muhammadarrasulullah (syahadat risalah, kesaksian
bahwa Nabi Muhammad utusan Allah) merupakan prinsip meneladani sunnah Nabi SAW.
Poin ketiga, syahadat itu landasan perubahan. Minazzhulumaati ilannuur, perubahan dari kegelapan menuju cahaya. Keempat,
syahadat itu hakikat dakwah para rasul. Kelima, kalimat syahadat itu sendiri memiliki
keutamaan-keutamaan yang sangat agung.
(Lagu tentang keimanan yang sangat saya suka. Terinspirasi dari episode Rasulullah SAW ketika menjawab Abu Thalib terhadap tawar-menawar & kompromi
para penentang masa itu.)
Pengakuan =>
Jebakan sombong
Pengakuan ini berlaku pada
pengakuan yang bukan ngaku-ngaku, berupa suatu pencapaian atau fakta kebaikan
diri. Apa yang diakuinya mungkin benar, namun pengakuan ini rawan terhadap
resiko sombong. Resiko ini berlaku juga pada prestasi-prestasi yang mungkin
membuahkan pengakuan dari orang lain tanpa perlu kita mengaku. Untuk itu kita
perlu belajar kepada padi, yang makin berisi, menguning indah keemasan makin
merunduk tawadhu’ (rendah hati). Rendah hati tidak sama dengan rendah diri.
Rendah hati tempatnya untuk sesama manusia, sementara rendah diri hanya untuk
Allah saja.
Pengakuan => Jebakan riya’
Pengakuan ini mirip-mirip
pengakuan yang rawan jebakan sombong. Hanya biasanya berkaitan dengan
kesholehan & sejenisnya, capaian-capaian amal kebajikan. Jebakan riya’ sering
tak kelihatan padahal bahayanya besar. Riya’ disebut syirik kecil, karena
ketika motif ikhlas hanya untuk Allah-nya tercemar motif lain, ini mencederai
pengakuan keimanan kita sendiri dalam syahadat. Lagipula kalau soal kesholehan,
ngapain juga ngaku-ngaku? Bahkan jika kuantitas ibadah sudah terasa banyak, kualitasnya hanya Allah
yang tahu. Justru kalau kita mulai mengakui kesholehan diri, patut dicurigai
jangan-jangan genrenya ke ngaku-ngaku alias sindrom kepedean. Siapa sih diri kita ketika bicara kesholehan? Mereka yang
sudah jelas-jelas berilmu & terjaga saja tak pernah pede mengaku sholeh. Soal ini kita perlu bercermin ke riwayat hidup
para ulama & sahabat-sahabat Nabi.
Pengakuan => dosa
Pengakuan dosa kebalikan dari
pengakuan rawan jebakan riya’. Sebagaimana mengakui kesalahan diri, pengakuan
ini artinya kita mengaku jelek & rendah. Begitulah sebutannya kalau memang
kita melakukan perbuatan jelek & rendah. Karena ego, mengaku salah tak
selamanya mudah, apalagi jika kita termasuk orang yang menempatkan pencitraan
diri di atas segalanya. Takkan maulah mengaku jelek, hina, & rendah, meski
mungkin saja kenyataannya seperti itulah kita. Di hadapan Allah, Yang
Mengetahui segala sesuatu baik yang nampak maupun tersembunyi, masihkah kita
bisa pede tak mengaku hina &
berdosa? Bahkan Rasulullah SAW yang sudah terjaga dijanjikan syurga masih terus
saja beristighfar setiap harinya. Apa kabarnya kita :’(? Jadi teringat penggalan
syair I’tiraf-nya Abu Nawas...
Komentar
Posting Komentar
Tinggalkan jejakmu kala mampir di sini