Confession (bag. 1)




“Katakanlah: "Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu." Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS Ali Imran: 31)



Apa yang terlintas di benak ketika mendengar kata “confession”, pengakuan?
Untuk ukuran kebanyakan anak muda jaman sekarang, barangkali kata “confess” sudah mengerucut sugesti maknanya ke arah “nembak”, alias bilang I love you :D. Kalau saya, ada beberapa sugesti makna yang berseliweran di benak mengenai kata ini. Beberapa waktu lalu saya mencatatkan kata “pengakuan” di buku catatan. Selanjutnya, kata itu menumbuhkan anak-anak panah ke arah kata-kata lain yang tersugestikan arahnya. Untuk sementara, anak-anak panah spontan itu berjumlah 5. Kelak mungkin bisa bertambah lagi.

Pengakuan => Ngaku-ngaku?
Sebagaimana banyak kata lainnya, pengakuan lahir di ujung lidah. Namun, tak semua yang terucap di lidah nyambung dengan yang ada di kepala, apalagi hati. Karena soal pikiran & hati seseorang tak bisa kita baca semudah buku yang terbuka, maka pengakuan seseorang kita tak tahu pasti apakah kebenaran ataukah ngaku-ngaku belaka. Makanya tanda tanya mengekori pengakuan itu. Ini berlaku ke banyak jenis pengakuan, entah itu ngaku-ngaku punya sesuatu, jadi sesuatu, atau bisa sesuatu. Termasuk ngaku-ngaku I love you :D. Pengakuan cinta itu akan diikuti tanda tanya: mana buktinya? Ketika kita bilang cinta, lantas minim bukti-bukti yang mendukungnya, adalah wajar pengakuan itu menjadi dipertanyakan. Mengaku atau ngaku-ngaku? Inilah yang bikin galau. 

Karena itu ada suatu pernyataan yang sulit saya lupakan dari kitab Nashaaihul Ibad ketika mengaji bertahun-tahun lalu. Pernyataan ini samar-samar saya ingat, tapi selalu sukses menggaungkan tanda-tanda tanya dalam diri. Saya bahkan lupa itu perkataan ulama siapa, yang jelas intinya beliau itu seseorang yang sangat berhati-hati. Ketika kita ditanya, apakah engkau mencintai Allah & rasul-Nya? Lalu kita jawab, ya. Dan ternyata tak ada buktinya, maka kita adalah pendusta. Lalu bagaimana, masa bilang tidak? Ulama itu lebih suka memilih diam. Begitulah. Sampai sekarang, pernyataan & pertanyaan-pertanyaan itu selalu ada di kegalauan hati terdalam. Saya menemukan pertanyaan itu kerap hinggap di penggalan catatan-catatan lama pengakuan saya. Misalnya puisi Syahadat & penggalan 2 catatan ini. Yang  pertama penggalan catatan tentang mencintai-Nya. Yang kedua puisi tentang Rasulullah SAW.

Telah kurangkai bunga-bunga
Seindah taman yang kumimpikan
‘tuk ku persembahkan sebagai              
keharuman cintaku pada-Mu
Dan entah apakah aku sedang membual
atau berdusta?                      
Jika rangkaian bungaku layu
luruh satu persatu
sebelum keharumannya sampai pada-Mu
....
*(Januari 2004)
--------------------------------
Ajari aku cinta
Hakiki
Semurni cinta abadimu
yang terbingkai indah
dalam galeri sejarah

Ajari aku cinta
Dari perjalananmu meniti waktu
dan pengorbanan yang tak pernah putuskan
Ikhlasmu.
Luka dan derita itu
pun tak sanggup membunuh
Sabarmu.

Ajari aku cinta
Agar ia tak lagi buta
dan tersesat menemukan muara

Ajari aku...
Mengeja cinta
Agar fasihku tak hanya sekedar kata
Tanpa makna

Ajari aku cinta
Agar saat kunyatakan rindu, dan berkata,
“Sungguh aku cinta padamu
Terpesona pada mulia
akhlakmu”
Tak ada lagi sebentuk tanya:
Dustakah aku?

*(Ajari Aku Cinta, April 2005)

Saya jadi teringat lagu EdCoustic berjudul Aku Ingin Mencintai-Mu. Liriknya mewakili harapan-harapan untuk dapat mencintai-Nya.

Lanjut baca ke tulisan berikutnya ya... Confession (bag. 2) tentang keempat anak panah pengakuan yang lainnya... :)

Komentar

Posting Komentar

Tinggalkan jejakmu kala mampir di sini

Popular Posts

Mozaik Bandung: Liburan yang Kacau & Jalan Panjang ke Pondok Hijau

Mencapai Impian dalam Mengelola Keuangan Secara Efektif dan Efisien

Puisi Sapardi, Acep Zamzam, & Bulu Kuduk [Wishful Wednesday #2]