Bukan Milik
“Dan Dia lah yang menjadikan kamu penguasa-penguasa di bumi dan Dia
meninggikan sebahagian kamu atas sebahagian (yang lain) beberapa derajat, untuk
mengujimu tentang apa yang diberikan-Nya kepadamu. Sesungguhnya Tuhanmu amat
cepat siksaan-Nya dan sesungguhnya Dia Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS
Al-An’am: 165)
Momen pemilu 2014 sebentar lagi
tiba. Jagad politik sudah mulai hot lagi (perasaan emang hot terus deh setiap
saat :P). Ugh, saya sih bukan orang yang senang berbincang tentang politik.
Tapi ketemu ayat 165 QS Al-An’am pikiran ini langsung nyambung ke pemilu :D.
Yahhh... Boleh dong berharap masih ada calon pemimpin negara yang menghayati
betulan apa itu kekuasaan... Meski sudah muak, tak boleh berhenti berharap kan
ya... *sigh
Berlomba-lomba orang mengejar
jabatan. Apa gerangan yang mereka pikirkan di kepalanya? Apa kekuasaan, titik?
Bagaimana dengan tanggung jawab, amanah? Semakin tinggi kekuasaan, semakin
berat pula tanggung jawabnya. Kekuasaan & ketinggian derajat itu sendiri
sebuah bentuk ujian pula. Ujian yang berat tampaknya, jika menyaksikan banyak
banget yang tergelincir pada kesewenang-wenangan & korupsi. Kalau melihat
fenomena yang marak, tampaknya kebanyakan orang masih tak siap untuk diuji
seberat itu sebenarnya, terlepas dari derasnya kata-kata & janji-janji yang
mereka hamburkan untuk rakyat dalam kampanye.
Tetap saja, harapan tak boleh
padam. Semoga memang masih ada yang maju dengan niat yang tak gombal belaka.
Yang masih melihat bahwa kekuasaan bukanlah suatu kepemilikan, melainkan ujian
titipan yang harus dipertanggungjawabkan. Sebenarnya, pangkal masalah kebanyakan manusia
berawal dari salah mind-set. Yang
sejatinya ujian/titipan, diakui sebagai milik. Lalu karena itu “hak milik saya”,
suka-suka dong mau diapain juga. Deuh!
Kesalahan seperti ini berlaku tak
hanya di dunia politik, melainkan mewabah juga di masyarakat & barangkali
dalam lingkup kehidupan kita sendiri sehari-hari. Kesewenangan terhadap
pasangan atau anak, misalnya, ini juga berpangkal dari sikap sok berkuasa, sok
memiliki. Arogansi macam ini menimbulkan banyak kasus KDRT. Euh, salah tuh lagu-lagu gombal yang bilang, "Aku memilikimuuu... Aku milikmuuu..." :P. Dikatakan pula bahwa
anak adalah amanah. Penggunaan istilah “amanah” ini yang tepat, bukannya “milik
sendiri”. Amanah itu sesuatu yang dipercayakan kepada pemegangnya, sesuatu yang
kelak akan dipertanggung jawabkan seadil-adilnya.
Ah, jika mind-set kita sudah tak
salah, bahwa segala sesuatu yang diberikan-Nya kepada kita adalah amanah,
rasanya kita akan senantiasa lebih berhati-hati, bukan? Apalagi jika yang mempercayakannya adalah Dia. Bagaikan ada alarm
warning jika kita mulai berlaku semena-mena. Juga, rasanya kita takkan terlalu
kecewa atas kehilangan-kehilangan, seandainya sejak awal kita memang tidak
merasa mempunyainya. Ada kalimat kutipan yang menyatakan semacam ini: lebih
baik tidak pernah memiliki sama sekali, daripada memiliki lalu kehilangan. Yah,
ternyata pangkal kekecewaan kita juga karena merasa sok milik sendiri... Apa
sih sebenarnya yang kita punya? Ketika salah satu dari kita dipanggil-Nya, kita
mengakui & mengatakan, “inna lillahi wa inna ilaihi raji’uun”, sesungguhnya
segala sesuatu milik Allah & sesungguhnya kita semua akan berpulang
kepada-Nya...
Ayyy, bahkan diri kita sendiri
bukan milik kita ternyata. Namun sesudahnya, sering lupa lagi... Mulai
ngaku-ngaku lagi....
Iya begitu lah adanya kita. Jabatan, harta dan anak kita klaim milik kita, bukan titipan yang Di Atas. Makanya gak heran kalau mereka hilang rasanya sedih banget :)
BalasHapusiya, Mbak. Kita suka pelupa, ngaku-ngaku punya kita segala... salah sendiri kalau kecewa... :)
BalasHapus