Waktu dan Perjalanan

Waktu seringkali mengejutkanku. Sekali waktu, aku mendapati diriku di sebuah tempat, bercengkerama dengannya, menjadi terbiasa dan terlibat rutinitas di dalamnya. Lalu suatu waktu, saat telah lupa rasanya bertemu, aku mendapati perpisahan di ambang mataku. Rasanya aneh, tapi lalu waktu mengantarkanku ke sebuah tempat lain, mempersembahkanku dengan pertemuan-pertemuan baru. Lalu perpisahan-perpisahan baru. Dengan caranya sendiri, waktu melarikanku ke tempat demi tempat, suasana demi suasana, petualangan demi petualangan. Pelajaran demi pelajaran, jika memang aku seorang murid yang peka.

Suatu kali, waktu menempatkanku di sebuah pondok nun jauh di Jawa Tengah, terpencil di sebuah desa yang terletak di dataran tinggi pegunungan. Aku pernah menjadi satu dari ribuan pembelajar yang datang dari berbagai penjuru. Aku pernah merasai lembaran-lembaran kitab kuning bermejakan pangkuan, menulisinya dengan huruf arab kecil-kecil, menggunakan pena yang kadang harus terus dilumuri tinta secara berkala. Memasuki dunia pembelajaran fiqih, aqidah, akhlaq, dan bahkan dasar-dasar faraid. Berkenalan dengan Nahwu-shorof, Jurumiyah dan Imrithi. Mendengarkan bait-bait Alfiyah, tafsir, & ilmu-hikmah yang hanya kudengar namanya & tak sempat kukaji.

Waktu itu, aku pernah duduk di ruang-ruang kelasnya, beribadah dan mengaji di masjidnya, tidur di asramanya,melewati lorong-lorongnya setiap hari. Tiga tahun saja aku begitu. Terakhir kali menginjakkan kaki di sana, sudah 12 tahun lalu. Dalam 12 tahun, banyak sudah waktu melarikanku kesana-kemari. Mempersembahkan fakta-fakta beragam rupa. Selama itu aku tak pernah lagi kesana.

Suatu waktu, aku menghabiskan hari di jalanan panas berdebu. Perjalanan Bandung-Cirebon tidaklah istimewa, dan Cirebon-Tegal-Brebes begitu teriknya. Aku bahkan tak tahu persis bagaimana mencapai tempat yang kutuju. Sudah sekian lama. Begitu jauh. tak kunjung sampai. Cemas, barangkali sesampainya di sana, justru teman-teman yang sudah menyengaja datang & berkumpul malah terlanjur pulang. Aku datang paling jauh sendiri. Pagi-siang, lalu senja tiba. Sepertinya aku sudah menguras energiku di perjalanan, meninggalkannya dari bis ke bis, kota demi kota yang dilalui. Terakhir kali turun dari bis, masih harus bermotor dalam gerimis, menempuh jalan kecil yang sekali lagi mendaki.

Senja itu, aku berada di sana lagi. Setelah 12 tahun, aku hanya orang asing yang singgah bertamu. Termangu dan terkesima. Gedung-gedung baru... Dan bangunan-bangunan lama yang renta. Guru besar telah berpulang bertahun silam. Terselip wajah-wajah lama yang kukenal di antara wajah-wajah asing. Banyak yang berubah dan hilang, hanya kenangan purba yang tinggal. Aku tak dapat mengenali perasaanku sendiri. Mengenang aku yang dulu di sini, aku yang kini sudah tak sama lagi. Menyinggahi tempat ini seperti memandangi sebuah cermin. Aku hanya bisa melihat dengan berjarak.

Sekali lagi, pertemuan kecil tergelar. Bertemu dan bercengkerama lagi dengan teman-teman lama. Dan guru-guru juga. Aku bersyukur waktu yang 12 tahun itu tak menghapus sillaturrahim ini, meski hanya segelintir teman yang masih bisa berkumpul di sini, saat ini. Aku bahkan telah sempat bertemu di antaranya 10 bulan lalu di Jogja dan menghabiskan waktu liburan yang menyenangkan bersama. Berjumpa teman lama yang berjauhan setelah 11-12 tahun adalah hal istimewa. Kita tak pernah tahu apakah waktu kelak akan mempertemukan kita lagi. Tentu saja waktu memang begitu. Namun jarak mempertegasnya lagi.

Sungguh mengherankan sekali waktu itu. Waktu melemparkanku ke jalanan panjang. Satu hari waktu menempatkanku pada perjalanan asing yang melelahkan, lalu mengantarkanku ke gerbang kenang-kenangan, menyibak sekaligus menutup kilasan-kilasan memori masa silam. Singkat kemudian, lagi-lagi waktu melemparkanku ke jalanan. Semalam di Brebes, tahu-tahu esoknya bermalam

di Tegal tanpa direncanakan. Dan menjadi tamu asing lagi di rumah teman. Esoknya lagi-lagi salam perpisahan. Lagi-lagi terlempar ke jalanan. Pulang. Setidaknya, aku ingin bisa menamainya demikian.

Perjalanan bis ke Bandung lagi-lagi tak begitu menyenangkan. Seorang ibu, sekaligus nenek, mencurahkan keluh dan cemasnya tentang seorang yang dibawanya dari jauh untuk cucunya. Aku mendengarkan. Aku melihat kegelisahan. Sejujurnya, aku pun gelisah dalam diam. Perjalanan ini menghajarku dengan begitu banyak pertanyaan. Tampaknya aku perlu lebih babak belur lagi buat mendapatkan sebuah jawaban. Entah juga... Mungkin memang demikian.


*Bdg 12-11-13

Komentar

Popular Posts

Novel Milea: Suara dari Dilan

The Lorax Film: Kisah Kota Plastik Tanpa Pohon

Berguru kepada Emak-emak KEB