Negeri 5 Menara
My rating: 4 of 5 stars
Kesan pertamaku membaca buku ini berkisar antara dua point: Pertama, alur ceritanya terlalu flat, mengalir lancar namun terasa begitu datar, tanpa permainan konflik atau kejutan plot yang berarti. Itu point kelemahan yang segera tertangkap sejak awal kesan membacanya. Kedua, point menarik buku ini, yaitu isinya yang bercerita tentang kehidupan pendidikan di Pesantren Gontor. Meski alurnya datar, namun buku ini tetap membuatku penasaran dengan gambaran macam apakah yang hendak diceritakan Ahmad Fuadi mengenai kehidupan-pendidikan pondok tersebut? Inspirasi yang manakah yang hendak ia bagi dari sana? Point ini, plus gaya cerita yang dituturkan ringan dan mengalir disertai kepiawaian Ahmad Fuadi mengolah setting yang mendetail cukup menutupi kelemahan point pertama untuk mengantarkanku melahap (inspirasi) buku ini hingga akhir. Dan aku bersyukur setelahnya. Karena, muatan positif buku ini sangat-sangat patut diapresiasi. Kalau saja plotnya dibuat lebih menarik, buku ini akan sangat bagus sekali. Akan sayang kalau buku bermuatan bagus tidak cukup menarik minat pembaca yang gampang bosan misalnya, karena kesan awal ceritanya begitu datar. Aku pun tadinya hendak memberi rating 3 bintang saja, namun setelah tamat baca hingga akhir aku tambah jadi 4 bintang mengingat "muatan"nya yang tak bisa dipungkiri, memberikan efek "men-charge" juga buatku.
Jadi, muatan apakah yang aku maksud? Hm, aku rangkum menjadi 2 point lagi deh. Pertama, informasi. Kedua, inspirasi. Di buku ini, siapa pun yang penasaran seperti apa kehidupan-pendidikan di balik tembok pesantren yang katanya serba tertutup akan mendapati informasi tentangnya yang dideskripsikan cukup mendetail di novel ini. Budaya dan sistem pendidikan unik ala pesantren Gontor dibuka lebar-lebar di novel ini sehingga seolah-olah pembaca sedang diajak tur keliling pondok dan bahkan turut merasakan suasana ujian yang meriah di dalamnya seiring cerita 6 sekawan Sahibul Menara. Bagiku sendiri yang pernah mondok, dunia pesantren bukan sesuatu yang mengejutkan karena aku pernah mencicipinya sendiri. Namun, setiap pondok punya sistem pendidikan dan disiplinnya sendiri. Tetap saja ada yang unik, budaya yang diterapkan di tiap pondok dapat berbeda satu sama lain. Pondok Gontor sendiri adalah sebuah pondok modern yang mendidik santri-santrinya dengan ketat untuk dapat menguasai 2 bahasa jendela dunia: Arab dan Inggris, dengan pembekalan ilmu agama dan bejibun kegiatan ekstrakurikuler untuk pengembangan hobi dan aktualisasi diri. Nah, bukankah image pesantren selama ini tidaklah begitu baik, gara-gara isu teroris misalnya, membuat sebagian orang curiga apa sih yang sebenarnya di ajarkan di pondok? Atau frame berpikir masyarakat bahwa pesantren adalah tempat buangan bagi yang tak bisa masuk sekolah umum, atau bahkan bagi anak-anak nakal? (Waduh miris banget nih, apa aku orang buangan? Beuh... aku tidak dibuang, aku kesana dengan keinginan sendiri dan orang tua, juga bukan karena ga mampu masuk sekolah umum :P. Kok jadi esmosi sendiri, hehe :D). Eniwey, soal ini juga disinggung oleh Ahmad Fuadi di Negeri 5 Menara ini, melalui pandangan Amak (ibu) tokoh Alif yang punya cita-cita mulia mempersembahkan putra terbaiknya untuk belajar ilmu agama. Apa jadinya generasi ulama coba kalau sekolah agama hanya jadi nomor 2, berisi siswa-siswa yang tersisihkan saja? Aku jadi ngefans sama Amaknya Alif yang tegas & tegar :D.
Muatan kedua, inspirasi, begitu berserakan di novel ini. Tak hanya inspirasi motivasi mantra "Man Jadda Wajada" yang memang digembar-gemborkan buku ini, tapi lebih dari itu. Soal motivasi, pesantren punya segudang kata mutiara yang kalau diamalkan benar-benar akan menghasilkan mutiara kehidupan. Betapa tidak, selain memang mempelajari tuntunan hidupan, Al-Qur'an dan Al-Hadits, ditambah pula kitab-kitab karya para ulama legendaris. Banyak kutipan-kutipan inspiratif dari para ulama ini juga. Misalnya syairnya Imam Syafii yang dikutip membuka cerita di buku ini. Inspirasi yang dimuat di buku ini juga berkaitan dengan sistem pendidikan, misalnya. Kita bisa berkaca pada sistem pendidikan Pondok Madani (PM) yang begitu efektif: perpaduan antara semangat ikhlas guru dan murid, dedikasi, disiplin, dan semangat kemandirian. Tengoklah bagaimana perpaduan ini menggerakkan roda pendidikan PM. Keikhlasan = no corruption, semangat dedikasi menjadikan para Ustadz tak hanya berperan sebagai "pengajar", tapi "pendidik", dan bisa juga jadi "tukang setrum" semangat alias motivator bagi siswa didiknya. Kedisiplinan menjaga keberlangsungan sistem pendidikan berjalan sesuai peraturan, dan semangat kemandirian membuat PM tidak dirisaukan oleh keperluan logistik dalam menjalankan sistem pendidikannya. Yah, kalau ingin tahu seperti apa konkritnya, bacalah novel ini :D. Dan bagaimana dengan ujian yang mendebarkan? No cheating! Disini ujian dirayakan, bukan dijadikan teror. Para guru menunjukkan totalitasnya dalam membantu persiapan ujian siswa, tak hanya material tapi juga kesiapan mental. Intinya, aku lebih banyak melihat novel ini memuat inspirasi pendidikan. Ada inspirasi untuk para orang tua, untuk para guru, untuk para siswa, dan untuk siapa saja secara umum.
Omong-omong, aku masih agak kurang jelas kenapa judulnya Negeri 5 Menara. Apa karena keenam sahabat berjuluk Sahibul Menara itu bermimpi bersama-sama untuk mencapai cita-cita di 5 Negara ya: Raja ke London, Alif ke Washington DC, Atang ke Kairo, Baso ke Mekkah, Said dan Dulmajid tetap di Indonesia. Novel seperti ini bagus buat dibaca generasi muda terutama, yang masih takut sama ujian, atau yang masih galau dengan cita-cita, pilihan sekolah kemana...
Bagiku sendiri, membaca Negeri 5 Menara di bulan Ramadhan seperti ini membuatku terkenang akan masa-masa di pondok dulu. Betapa aku merindukan mempelajari kitab-kitab tentang berbagai ilmu yang baru sedikit sekali aku pelajari. Sekarang, saat aku sudah pindah jalur mempelajari subjek ilmu yang lain, apa yang sudah dipelajari pun kebanyakan sudah menguap... Sedih sekali. Dan yang lebih parah, rasanya Ramadhan beberapa tahun belakangan ini memperjelas kurva keimananku yang menurun dibanding saat di pondok dulu... :'(. Jadi begitulah, novel ini seolah mengingatkanku dan menginspirasiku. Syukran Jazilan Akhi Ahmad Fuadi (hehe, asa aneh sedikit ber-arabic lagi. sekarang asa kurang matching dg orangnyaa... huk!).
View all my reviews
udah baca Ranah 3 Warna,
BalasHapuskalo mau aku ada
Belum. Negeri 5 Menaranya saja baru baca.
BalasHapusSudah nonton filmnya belum?,
BalasHapusbelum juga. haha :D
BalasHapushaha,... nanti selesai baca tonton filmnya,skrng lg baca buku apa?
BalasHapushm... komen berlanjut...
BalasHapusskrg lg baca Muhammad-nya Karen Amstrong
karena kita tidak akan pernah tau akan bertemu siapa saja pada esok hari,
BalasHapusso,... the comment will be continue,
Udah baca siroh nabawiah?
atau bilik-bilik cinta Muhammad?
hm?
BalasHapusBelum.
hmm?
BalasHapusmending baca Siroh Nabi dahulu,
agar ga salah tafsir sejarah kenabiannya, ok
:)
Insya Allah ga akan sembarang menafsirkan. Insya Allah masuk agenda.
BalasHapus“Sungguh telah ada bagi kalian pada
BalasHapusdiri Rasulullah suri teladan yang baik
bagi orang yang berharap kepada
Allah, hari akhir dan bagi orang yang
banyak mengingat Allah.”
(Al-Ahzab:21)