Renungan Kloset

Renungan Kloset: Dari Cengkeh Sampai Utrecht: Kumpulan PuisiRenungan Kloset: Dari Cengkeh Sampai Utrecht: Kumpulan Puisi by Rieke Diah Pitaloka

My rating: 1 of 5 stars


Hmm... apa yang harus kukatakan? Sejujurnya, aku kurang suka dengan puisi-puisi yang ada di buku ini.

Puisi-puisi Rieke di sini banyak menggambarkan jiwa pemberontakan, ditulis dengan lugas, liar, berapi-api, kadang juga sinis. Tema puisi yang diangkat banyak menggambarkan potret sosial dan politik negeri ini, feminisme, ada pula tentang cinta, dan perenungan kehidupan. Begitu membaca puisi-puisi Rieke di awal-awal halaman, saya cukup tersentak, Rieke saya bayangkan seolah sedang menggoreskan kemarahan yang meledak-ledak dalam puisinya, bicara tentang kemarahan pada penguasa, puisi-puisi yang ditulis pada 1998 yang beraroma demonstrasi. Begitu bicara soal gender, puisi-puisinya juga cukup mengejutkan saya. Ada nada sinisme yang begitu tajam di sana. Begitu pula saat bicara soal masalah sosial. Semuanya cukup menggambarkan jiwa nasionalis Rieke dan kepeduliannya pada masalah-masalah negeri ini.

Namun, bagaimanapun ini sebuah buku kumpulan puisi. Di samping tema yang diangkat, sebuah puisi tetap harus juga dinilai berdasarkan 'bentuk'nya. Puisi tak sama dengan esai. Ada suatu 'faktor aneh' yang turut campur dalam sebuah puisi yang membuat puisi itu jadi kaya akan estetika, yang--seperti halnya seni lain--membuat penikmatnya merasakan suatu ruang kosong yang dapat dimasuki kapanpun ia mau menjelajahnya, menafsirkannya sendiri. Multitafsir, begitu menurut para ahli sastra. Dan karena saya hanya seorang penikmat puisi dan belum ahli, sejujurnya saya belum cukup pandai pula dalam mengapresiasi puisi. Dalam hal ini, dan karena 'faktor x' yang turut memberikan cita rasa puisi memanglah tetap misterius seberapa panjang-lebar pun para ahli sastra berteori, favorit saya adalah teori 'bulu kuduk'nya Acep Zam-zam Noor yang relatif efisien dalam mengungkap perasaan subjektif pembaca terhadap puisi yang dibacanya: Puisi yang bagus adalah puisi yang mampu meremangkan bulu kuduk.

Puisi-puisi di buku ini belum sampai meremangkan bulu kuduk saya. Terkesan ngaco, tapi memang demikian. Terlepas dari muatan yang disampaikan, saya memang kurang menyukai puisi-puisi di buku ini sehingga ratingnya hanya kuberi satu bintang. Tentu saja itu tak lantas menghilangkan apresiasi saya terhadap penulisnya. Kalau harus memilih, ada beberapa puisi yang relatif lebih saya sukai dibandingkan dengan yang lainnya di buku ini, yaitu "Bulan yang Gelisah", "Tandatangani Saja", dan "Sebuah Rindu". Ketiganya dapat direnungkan sebagai potret yang menangkap gejala pergeseran sosial/budaya yang terjadi di sekeliling kita.

Bagaimana pun senang rasanya ada seorang seperti Rieke (artis sekaligus aktivis) menulis puisi seperti ini. Seperti kata Seno Gumira Ajidarma (SGA) dalam pengantarnya,
"Setiap kali ada orang Indonesia menulis puisi, kita harus bersyukur, karena kalau toh ia tidak berhasil menyelamatkan jiwa orang lain, setidaknya ia telah menyelamatkan jiwanya sendiri. Puisi memang tidak bisa menunda kematian jiwa dalam diri manusia yang sampai pada akhir hidupnya, tapi puisi jelas menunda kematian jiwa dalam diri manusia yang masih hidup. Hal ini dimungkinkan, karena dari sifatnya, puisi membebaskan diri dari kematian budaya."

Ya, puisi memang membuka jalan menuju kehidupan budaya, saya kira. Kata SGA, kehidupan budaya maksudnya adalah: perbincangan antara hati dan kepala ketika merenungkan dunia--dalam perbincangan itu berlangsung tarik menarik, antara menyerah, melawan, atau menawar, kepada proses kematian budaya.





View all my reviews

Komentar

Popular Posts

Mozaik Bandung: Liburan yang Kacau & Jalan Panjang ke Pondok Hijau

Mencapai Impian dalam Mengelola Keuangan Secara Efektif dan Efisien

Puisi Sapardi, Acep Zamzam, & Bulu Kuduk [Wishful Wednesday #2]