Postingan

Menampilkan postingan dari April, 2012

Rintik Hujan Dibalik Jendela

Gambar
Bunyi rintik hujan di balik jendela mengusik telinga seumpama nyanyian lama yang sering kaudendang kala meninabobokan aku, Ibu di buaian usang tempat aku menyimpan ribuan rahasia mimpi-mimpi yang tercipta dari rangkaian senyuman yang hanya kita berdua yang tahu Kenapa bunyi hujan, Ibu, yang membungkusku dalam kesenyapan tanda-tanya Seolah titik-titik dirimu berjatuhan di kaca jendela mengetuk dunia kecil yang kian mengurungku waktu demi waktu Mengusikku meski gelap malam melarutkan pandanganku ke dalam cangkir-cangkir kopi instan yang tandas kuteguk tiap pagi tanpa sisa. hanya setetes sesal yang menempel di dasarnya. Tetabuhan hujan, Ibu Iramamu yang mengusik kesadaran dari lamunan panjang bayang-bayang buram yang terbingkai dibalik cermin yang biasa kugunakan buat berdandan. Nyanyianmu, Ibu semakin kudengar dalam rintik hujan yang mengembun di jendela dan menderas di pelupuk mata Bandung, 29 April 2012

Renungan Kloset

Gambar
Renungan Kloset: Dari Cengkeh Sampai Utrecht: Kumpulan Puisi by Rieke Diah Pitaloka My rating: 1 of 5 stars Hmm... apa yang harus kukatakan? Sejujurnya, aku kurang suka dengan puisi-puisi yang ada di buku ini. Puisi-puisi Rieke di sini banyak menggambarkan jiwa pemberontakan, ditulis dengan lugas, liar, berapi-api, kadang juga sinis. Tema puisi yang diangkat banyak menggambarkan potret sosial dan politik negeri ini, feminisme, ada pula tentang cinta, dan perenungan kehidupan. Begitu membaca puisi-puisi Rieke di awal-awal halaman, saya cukup tersentak, Rieke saya bayangkan seolah sedang menggoreskan kemarahan yang meledak-ledak dalam puisinya, bicara tentang kemarahan pada penguasa, puisi-puisi yang ditulis pada 1998 yang beraroma demonstrasi. Begitu bicara soal gender, puisi-puisinya juga cukup mengejutkan saya. Ada nada sinisme yang begitu tajam di sana. Begitu pula saat bicara soal masalah sosial. Semuanya cukup menggambarkan jiwa nasionalis Rieke dan kepeduliannya pada masalah-mas

The Geography of Bliss

Gambar
The Geography of Bliss: Kisah Seorang Penggerutu yang Mengelilingi Dunia Mencari Negara Paling Membahagiakan by Eric Weiner My rating: 4 of 5 stars "Perlu kiranya mempertimbangkan karbon. Kita tidak ada di dunia ini tanpa karbon. Karbon adalah dasar semua kehidupan, bahagia dan sebaliknya. Karbon adalah juga sebuah atom bunglon. Susunlah lagi--dalam deretan yang jalin-menjalin dengan ketat--maka Anda akan mendapatkan sebuah intan. Kumpulkan lagi dengan cara yang lain--Anda akan mendapatkan segenggam arang. Penataanlah yang membedakan." "Semua negara yang menderita mirip satu sama lain; negara-negara yang bahagia merasakan kebahagiaan dengan caranya sendiri-sendiri." -hal.485 Begitulah Tutur Eric Weiner di Epilog buku ini, saat mengungkapkan perenungannya tentang berbagai kontradiksi yang diamatinya selama pencarian jalan menuju kebahagiaan dari berbagai negara: Belanda, Swiss, Bhutan, Qatar, Islandia,Moldova, Thailand, Inggris, India, dan Amerika. Ya,

Tawanan Benteng Lapis 7

Gambar
Tawanan Benteng Lapis Tujuh: Novel-Biografi Ibnu Sina by Husayn Fattahi My rating: 4 of 5 stars Tidak Menyesal mengidamkan buku ini. Novel-biografi ilmuwan muslim besar multidisplin, Ibnu Sina (Avicenna) ini dituturkan dengan sederhana dan mengalir saja, cukup enak dibaca. Meski perjalanan hidup Ibnu Sina diwarnai dengan berbagai rintangan dan pelarian akibat iklim pelik politik di zamannya, penuturan kisahnya tak bikin sakit kepala alias tidak berat. Yah, meski bacanya jadi serasa kurang menantang (hah?, semacam kurang dramatis, mungkin) tapi aku suka dengan buku ini. Inti cerita perjalanan hidup Ibnu Sina, segala kejeniusannya, produktivitasnya dalam berkarya, keteguhan pendiriannya, serta penderitaannya akibat tekanan politik dari berbagai penguasa dan oknum-oknum yang dengki kepadanya tersampaikan dengan baik (meski kedetailannya kurang). Aku jadi membandingkan poin perbedaan terjelas antara buku ini dengan buku novel-biografi ilmuwan muslim lain yang sempat kubaca sebelumnya,

Gentle Madness: Sebuah Tulisan Kacau

Gambar
Ada yang tercermati dari sebuah pertemuan kecil. Pertemuan spontan yang lantas kita rayakan tanpa perencanaan. Ah, rencana ya? Mendengar kata itu aku jadi ingin bertanya pada diri sendiri, "Hey, kau sebenarnya orang macam apa sih?". Bukankah di pertemuan itu salah satu dari kalian berkata, "Kalau kita sudah ngumpul begini, yang udah jarang-jarang banget bahkan langka bisa begini, mau jalan kemana kek, ga usah banyak mikir... Kita cabut aja, ga usah pake banyak rencana, langsung go jadi aja." Itu karena kita sedang bicara ngalor-ngidul tentang kenangan lama, sewaktu kita masih sering main bareng di satu komunitas, lalu ada momen-momen memeberadakan diri kita di tempat istimewa: alam terbuka. Dan mencipta kenangan bersama di sana. Lalu di sinilah kita hari ini, tahun-tahun telah berganti, kita mendapati diri kita bahkan sudah langka untuk saling bertatap-muka. Masing-masing punya kesibukan dan jalan sendiri-sendiri. Aku jadi tergelitik oleh ide spontanitas yang mengg

10 Tahun

Gambar
Sudah 10 tahun. Hari-hari telah kujalani sejak aku mengenal fakta kehilanganmu. Lihatlah aku sekarang, kadang-kadang aku bertanya apa akan sama jadinya seandainya kau masih ada. Tetapi, itu bukanlah suatu hal yang bijak untuk dipertanyakan, bukan? Aku tahu, maka kerap aku harus menepis tanya macam itu. Kau tahu jika aku membincangkan lagi tanya macam itu, itu artinya aku sedang merindukanmu. Aku hanya merindukanmu. Itu saja. Tapi kadang kerinduan akan hal yang jauh dan tak tergapai mengundang suatu kepedihan. Mungkin itu sebabnya tanya itu kerap menjelma. Akankah sama jadinya... Tapi itu tak penting lagi sekarang. Lagi pula jawabannya tak akan pernah ditemukan. Aku begitu konyol, bukan? 10 tahun itu cukup lama. Tapi waktu ternyata tak jua mampu hapuskan semua kepedihannya. Kadang ada semacam sesal, kenapa begitu sedikit kenangan yang kita punya? Sebenarnya, aku ingin bisa mengenangmu dengan lebih baik. Tapi memanglah begitu singkat waktu yang kita punya. Jadi aku bisa apa? Bagaimana