Cecilia dan Malaikat Ariel
My rating: 5 of 5 stars
Tuntas dibaca dalam setengah, atau mungkin kurang, perjalanan mudik dalam bis Bandung-Kuningan plus macetnya. Novel yang sangat keren, membuat perjalanan mudik ini tidak menyebalkan dengan macetnya. Ah, novel-novel Gaarder memang selalu sukses membuat saya melihat dunia di sekeliling menjadi terlihat lebih misterius dan indah dibanding biasanya. Apalagi ini diperjalanan, ketika yang bisa kita lakukan tak banyak, (selain tidur :p) hanya bisa melihat ke jendela bis: pohon-pohon, lanskap di latar belakangnya, rumah-rumah, pertokoan, langit, awan, gunung di kejauhan, yang semuanya bergerak seiring laju bis... suatu poin plus untuk merenungi kehidupan ini :).
Buku yang terbilang tipis, memang. Hanya 210 halaman. Seperti biasa, tokoh utamanya masih melibatkan anak-anak yang beranjak menuju remaja. Dan seperti biasa pula, karya Gaarder ini masih menyentuh soal-soal filosofis tentang dunia ini. Namun, tak seperti Dunia Sophie atau Misteri Soliter yang lebih gamblang menyuguhi pembaca dengan sajian filsafatnya, Cecilia dan Malaikat Ariel ini menyuguhkan pertanyaan-pertanyaan filosofis secara lebih halus. Poin utamanya masih mengajak pembaca lebih “merasakan” dunia ini, kehidupan ini, sebagai suatu misteri agung nan ajaib. Di buku ini, tanpa menyebut-nyebut tokoh filsuf dan teori filsafat, pembaca digiring pada pertanyaan-pertanyaan filosofis itu lewat dialog “sederhana” tokoh anak perempuan bernama Cecilia dengan seorang malaikat yang penasaran bagaimana rasanya menjadi manusia yang terbuat dari darah dan daging.
Cerita dimulai dengan setting suasana Natal yang khas di rumah Cecilia. Sesungguhnya natal tahun ini menyedihkan bagi Cecilia yang sedang sakit parah, hanya bisa berbaring di kamarnya di lantai atas sembari mendengarkan aktivitas natal keluarganya yang khas di lantai bawah. Sakitnya mungkin takkan sembuh, dan Cecilia marah kepada Tuhan dan menganggap-Nya tak adil. Lalu terjadi keajaiban, seorang malaikat bernama Ariel mengunjungi Cecilia. Kemudian mereka berdua sepakat membuat perjanjian untuk saling memberitahukan rahasia masing-masing: Cecilia harus memberitahu bagaimana rasanya menjadi manusia –rahasia Bumi, dan Malaikat Ariel akan memberitahunya rahasia Surga.
Di sepanjang dialog Surga dan Bumi itulah pembaca dapat menyimak pertanyaan-pertanyaan bergulir. Pertanyaan-pertanyaan sederhana yang sesungguhnya mendalam, tapi kebanyakan dari kita mungkin tak pernah memperhatikan, abai akan keajaiban-keajaiban kehidupan yang setiap saat kita berada di dalamnya. Dialog tentang kehidupan, surga, bumi antara Cecilia dan Malaikat Ariel ini mengalir dengan bahasa yang sederhana, indah, kadang puitis, dan juga lucu, membuat kita tersenyum-senyum sendiri.
Sebagai seorang malaikat yang penasaran bagaimana rasanya jadi manusia, Malaikat Ariel mempertanyakan kepada Cecilia hal-hal seperti: bagaimana rasanya merasa, melihat, mendengar, membaui, meraba? Bagaimana rasanya mengingat dan melupakan sesuatu? Bagaimana rasanya tidur, bermimpi? Apa ada rasanya?
“Kau bilang, malaikat tak pernah tidur.”
“Tidak, kami tak pernah tidur, jadi kami pun tak pernah bermimpi. Seperti apa rasanya bermimpi?”
“Saat bermimpi, aku tak merasakan apa-apa.”
Ariel mengangguk kecil. “Sama seperti aku tak merasakan apa-apa saat melayang di udara, sama seperti aku tak merasakan apa-apa saat memungut sebuah bola salju.”
“Bermimpi adalah sebuah cara berpikir,” kata Cecilia. “Atau cara melihat. Atau kedua-duanya. Tapi, saat bermimpi, kami tak bisa memutuskan apa yang kami pikir atau lihat.”
“Kau harus menjelaskannya untukku.”
“Saat kami bermimpi, kepala kami berpikir dengan sendirinya. Benar-benar mirip sebuah teater. Kadang-kadang, aku terbangun dan ingat mimpiku seperti sebuah drama atau film utuh.”
“Drama atau film yang kau ciptakan sendiri, karena kau sendiri yang memerankan semua karakternya.”
“Ya, dalam makna tertentu.”
Ariel menjadi bersemangat. “Mungkin bisa kita katakan bahwa sel-sel otak saling menayangkan film. Pada saat yang sama, film itu duduk di bangku bioskop dan menonton dirinya sendiri ditayangkan di layar.”
“Perkataan yang aneh sekali! ‘Sel-sel otak saling menayangkan film’. Tapi aku bisa membayangkannya.”
“Karena, saat kalian, manusia, bermimpi, kalian menjadi aktor sekaligus penonton. Bukankah itu sangat misterius?”
Hati Cecilia menciut. “Kurasa, hal itu terlalu mengerikan untuk dibicarakan.”
(Hlm. 138-139)
Menarik ya... Menyimaknya seperti mengingatkan kembali bahwa setiap kedipan mata, setiap aliran darah, setiap hembusan nafas, adalah ajaib dan misterius... ^^
Dan seperti biasa, Gaarder mengingatkan,
“Kebanyakan orang dewasa sering kali menjadi amat terbiasa dengan dunia sehingga mereka menganggap seluruh alam ini biasa-biasa saja,” Komentar Ariel. “Kalau kau merenungkannya, hal itu cukup lucu, karena mereka hanya ada di dunia ini untuk kunjungan singkat saja.” (Hlm. 44)
*Kukira, aku benar-benar jatuh cinta sama Jostein Gaarder sekarang. Sudah 4 bukunya yang kubaca, dan aku semakin yakin karya-karyanya yang lain pun gak akan mengecewakanku. Meski tema yang ia garap senada, tapi tampaknya ia punya segudang kreativitas yang membuat tiap kisah yang ia punya senantiasa original dan menyimpan kejutannya sendiri-sendiri.
View all my reviews
Ulasan cantik :) Berikutnya buku Jostein Gaarder mana yang mau dibaca?
BalasHapusBegitu?
BalasHapusBerikutnya "Maya", Insya Allah. Sudah ada di listku soalnya :)