My Father's Notebook

My Father's Notebook: A Novel of Iran My Father's Notebook: A Novel of Iran by Kader Abdolah


My rating: 4 of 5 stars
Ingatlah ketika pemuda-pemuda Kahfi itu berlindung ke dalam gua lalu mereka berdoa, “Ya, Tuhan kami. Berikanlah rahmat kepada kami dari sisi-Mu.”
….

Petikan beberapa ayat Surat Al-Kahfi membuka (juga menjadi penutup) “My Father’s Notebook”, sebuah novel Iran karya Kader Abdollah yang bercerita tentang seorang ayah bisu-tuli dan anak lelakinya. Sebuah kisah yang dituturkan dengan indah, bersetting tempat dan budaya Persia yang menawan, dan bergulir dengan jalinan latar dinamika sejarah modern Iran abad ke-20.

Dikisahkan dengan gaya bertutur yang tenang, perlahan tapi pasti kisah kehidupan Aga Akbar yang bisu-tuli sejak lahir bergulir. Semasa hidupnya Aga Akbar menulis apa saja yang tak dapat diungkapkannya dalam sebuah buku catatan. Ia menulisnya dalam huruf paku kuno. Dikemudian hari, buku catatan ini sampai ke tangan Ismail, putera Aga Akbar, dalam bentuk paket misterius yang diterimanya saat di pengungsiannya di Belanda. Ismail kemudian berusaha menerjemahkan buku catatan rahasia itu dengan menelusuri kembali jejak masa lalu ayahnya. Mulai dari kampung halaman Aga Akbar di Desa Saffron, lalu Senejan, hingga masa-masa sulit setelah Ismail sendiri kuliah di Teheran dan menjadi aktivis gerakan partai sayap kiri yang diburu pemerintah, yang membuatnya harus meninggalkan ayahnya, juga keluarga dan bahkan tanah airnya.

[Yang Aku Suka….:]

Menyimak kisah Aga Akbar dalam buku ini memang menarik. Sebagai seorang bisu-tuli yang hanya dapat berkomunikasi lewat bahasa isyarat yang terbatas, Aga Akbar menjalani kehidupannya yang sederhana di desa pegunungan Saffron. Dunia dalam pikiran Aga Akbar karenanya adalah dunia yang sederhana. Dan Ismail, sebagai putera Aga Akbar sejak kecil telah menyadari bahwa ia ditakdirkan menjadi ”telinga sekaligus mulut” bagi ayahnya. Latar belakang emosi yang begitu kuat antara ayah-anak ini menjadikan jalinan adegan demi adegan kisah mereka menyentuh dan menyiratkan hubungan emosional kasih sayang yang tak tersurat. Bagaimana Ismail harus menjembatani ’gap’ antara dirinya dan ayahnya memunculkan daya tarik tersendiri, terlebih setelah nyata bahwa Ismail dewasa juga harus menjembatani gap ideologi dirinya yang menjadi atheis setelah bergabung menjadi aktivis partai komunis bawah tanah.

Hal lain yang menarik dari buku ini ialah cara penulisnya dalam mempresentasikan dinamika perguliran kekuasaan politik pemerintahan Iran yang melatari novel ini. Secara gamblang, pembaca dapat menyimak potret Iran dilihat dari sudut pandang Ismail, yang menjadi aktivis partai sayap kiri penentang Shah. Namun, potret sejarah Iran yang disajikan melalui kacamata sederhana seorang Aga Akbar memberikan efek impresif tersendiri. Kader Abdollah dengan cerdas menggunakan penuturan simbolik atas peristiwa-peristiwa imbas dinamika politik yang terjadi di lingkungan desa sekitar Aga Akbar tinggal, dimana orang-orang desa ini mengamati tanpa menyadari apa yang ada dibaliknya.

Ide melihat sesuatu yang rumit melalui mata polos pikiran yang sederhana kerap memunculkan kesan tersendiri. Orang-orang desa Saffron, misalnya, menyaksikan bagaimana ketenangan Gunung Saffron tiba-tiba mulai terusik dengan pembangunan jalur kereta api pertama yang melintasinya, tanpa menyadari bahwa itu adalah bagian proyek modernisasi ambisius Reza Shah. Atau, mereka kerap melihat orang menyelinap dalam kegelapan melalui semak-semak almond dan minta makanan dalam perjalanan menuju ke balik Gunung Saffron, tanpa mengerti benar artinya pelarian yang melarikan diri menuju perbatasan Uni Soviet. Mereka sering melihat sejumlah orang ditahan penjaga, dibelenggu, dan dibawa pergi dengan jip, tanpa tahu benar mengapa.

Gambaran simbolik pergeseran sejarah Iran juga disinggung dengan cantik dalam cerita sekilas tentang para wanita di Saffron yang menghabiskan waktu menenun karpet (dikutip dari hlm 34-36). Diceritakan bahwa mereka merekam apa yang mereka lihat kedalam motif karpetnya. Suatu waktu mereka menenun burung-burung aneh dari Uni Soviet yang terbang ke desa mereka. Mereka juga menjadikan relief huruf-huruf kuno di gua Gunung Saffron yang terkenal sebagai motif, kadang polanya juga menggambarkan orang asing naik bagal menuju gua sambil memegang kertas bertuliskan huruf-huruf kuno. Lalu pada akhir 1930-an mereka tiba-tiba menenun pola yang berbeda: gambar kereta api yang bergerak menaiki Gunung Saffron. Lalu yang terkini karpet yang mereka tenun berpola pesawat pengebom yang terbang di atas desa, sambil menjatuhkan barang bawaannya yang mematikan.

Dapat saya simpulkan, daya tarik novel ini mengemuka tak hanya dari muatan kisahnya semata, melainkan juga dari unsur sejarah dan budaya Persia yang melatarinya. Seiring kisah Aga Akbar yang dituturkan dengan alur melompat-lompat itu kita dapat menyimak latar sejarah perebutan kekuasaan Iran antara Shah, partai komunis, dan para mullah hingga periode masa revolusi Iran. Kita juga sekaligus menyimak latar budaya Persia yang terkenal dengan Syair-syairnya, karpet Persia-nya, cerita rakyatnya, beserta budaya tradisi Islam Syi’ah-nya yang kental. Di sepanjang buku ini bertaburan syair-syair yang berasal dari lagu Persia maupun puisi-puisi karya penyair Persia dan Belanda. Diperkaya dengan folklore tentang Sang Mahdi, yang diyakini kaum Syiah sebagai imam ke-12 setelah Nabi Muhammad, novel ini menyajikan perpaduan mitos tradisional yang bertemu dengan realitas kontemporer Iran.

[Bagian Kuciwanya...:]

Sayangnya, novel ini hanya menceritakan tentang isi catatan Aga Akbar yang berusaha diterjemahkan oleh Ismail, sementara ’bagaimana’ Ismail dapat menerjemahkan huruf-huruf paku kuno dalam catatan itu sendiri tidak diceritakan Padahal kisah awal Aga Akbar menulis dengan huruf-huruf paku yang ia pelajari dari relief kuno Gua Saffron berumur 3000 tahun itu telah memunculkan ekspektasi saya sebagai seorang pembaca untuk menyimak bagaimana nantinya Ismail dapat memecahkan kode huruf-huruf kuno tersebut. Terlebih kisah tentang gua itu memang memikat, serta dijadikan simbol yang cukup kuat di buku ini, yang dibuka dan ditutup dengan ayat Al-Qur’an tentang kisah Ashabul Kahfi.

-------------------------------

[NB: Tentang begitu kentalnya budaya Syair Persia, saya sempat heran ketika membaca tentang kelahiran Ismail. Ketika ibu Ismail hendak melahirkan, Kazhem Khan, paman Aga Akbar yang seorang penyair begitu yakin akan berpesta sebab telah membaca Al-Qur’an (QS Maryam). Akan tetapi ketika bayi lahir, kalimat pertama yang harus sampai ke otak bayi bukanlah kata yang diucapkan dukun bayi atau jerit girang bibinya, bukan pula kata-kata sehari-hari dari mulut tetangga, melainkan haruslah berupa... puisi. Puisi melodius kuno, sebaris puisi karya Hafiz, dedengkot penyair Persia zaman pertengahan. Kirain kalimat adzan, hehe... :P].

View all my reviews >>

Komentar

  1. dari reviewnya seh keliatan kalo novel ini menarik

    BalasHapus
  2. Menurut subjektivitas saya sih begitu, entah kalo review orang lain.

    Terimakasih sudah membaca ^^

    BalasHapus

Posting Komentar

Tinggalkan jejakmu kala mampir di sini

Popular Posts

Mozaik Bandung: Liburan yang Kacau & Jalan Panjang ke Pondok Hijau

Mencapai Impian dalam Mengelola Keuangan Secara Efektif dan Efisien

Puisi Sapardi, Acep Zamzam, & Bulu Kuduk [Wishful Wednesday #2]