Menemukan Renaissance di Indonesia

Semalam saya menonton debat parpol PDIP vs partai Demokrat di TV-One. Diantara hal yang ramai sekali diperdebatkan yaitu soal kenyataan pencapaian program perekonomian yang diusung masing-masing partai. Soal iklan partai yang mengusung program ekonomi juga menjadi perdebatan seru. Ya, itu memang hal yang sudah biasa. Selama ini program-program ekonomi, juga politik, pendidikan, bahkan jender sudah kerap menjadi 'iklan' yang dilirik partai-partai politik saat kampanye untuk menggaet hati masyarakat. Kalau aspek agama tak usah ditanya lagi, beberapa partai bahkan sudah menjadikannya sebagai identitas partai itu sendiri. Pertanyaannya, mengapa iptek belum mendapat tempat? Padahal, bukannya iptek diyakini sebagai aspek yang sangat penting bagi kemajuan bangsa? Nah, lho...

So, saya bukannya mau mereview seputar perdebatan semalam, tapi justru mereview sebuah wacana yang lahir dari pertanyaan di atas. Ya, iklan-iklan partai yang kini kerap bermunculan di televisi itu mengingatkan saya pada opini Bpk. Kusmayanto Kadiman (KK), Menegristek Indonesia (yang juga adalah mantan rektor ITB yang saya kagumi ^^). Dalam makalah opini KK yang disampaikan dalam pidatonya pada sidang Senat Perguruan Tinggi ITS, diulas berbagai pertanyaan menarik seputar apa dan bagaimana arti penting iptek bagi kemajuan bangsa Indonesia. KK mengawali dengan mempertanyakan posisi iptek itu sendiri di 'hati' mayarakat Indonesia. Menurut KK, jawaban atas pertanyaan diatas adalah karena iptek belum mendapat tempat di hati masyarakat, artinya masyarakat belum menghargai iptek. Terdapat perbedaan cara pandang antara masyarakat dengan masyarakat akademisi terhadap iptek. Masyarakat umum memandang iptek dari segi kemanfaatannya dalam konteks kehidupan mereka, sementara masyarakat akademik cenderung memandang iptek dari segi pengembangannya, yakni prestisi kemajuan iptek sendiri. ini berarti bahwa iptek akan mendapat tempat di hati masyarakat jika mereka telah melihat kemanfaatan iptek tersebut. Pada situasi itu barulah iptek akan mendapat dukungan politis sehingga berdampak pada alokasi sumber daya bagi kemajuan iptek.

Arti penting iptek sendiri telah dapat dilihat dari sejarah, bahwa iptek dapat membawa perubahan-perubahan yang radikal, misalnya seperti terjadinya Revolusi Industri di Eropa, atau transportasi yang memungkinkan mobilitas melintasi berbagai negara. Hal ini yang kemudian berdampak besar terhadap peradaban dan kebudayaan bangsa-bangsa. Persoalannya adalah ketika masyarakat belum melihat kemanfaatan iptek, argumen-argumen yang menyatakan pentingnya iptek akan sulit diterima masyarakat. Untuk itu ada 2 pendekatan yang dapat ditempuh agar tercipta kesatuan yang selaras antara kemajuan dan kemanfaatan iptek. Pertama, aktivitas pengembangan dan pemanfaatan iptek diletakkan dalam jalur terpisah. Aktivitas pengembangan dijalankan oleh akdemisi di perguruan2 tinggi & peneliti di lembaga2 riset, sedangkan aktivitas pemanfaatan dijalankan oleh praktisi di area pemerintahan, bisnis, dll. Namun persoalan dlm pendekatan ini ialah pemanfaatan Iptek dalam situasi2 spesifik kerap membutuhkan Iptek spesifik juga, yang dikembangkan dengan cara yang khusus. Pengetahuan akademik yang dikembangkan di kampus cenderung general, mengandung abstraksi-abstraksi, kurang mengandung informasi spesifik yang kontekstual. Sehingga diperlukan interface untuk membawa pengetahuan atau hasil riset dari kampus ke aplikasi di area industri. Inipun memerlukan biaya yang sangat besar.

Pendekatan kedua yaitu aktivitas pengembangan dan pemanfaatan Iptek tidak dipisahkan, namun juga tidak dipertukarkan (perguruan tinggi tidak menjadi industri, ataupun sebaliknya), melainkan bersandingan, interaktif, dan kolaboratif. Misalnya, topik-topik penelitian dirumuskan dengan bertolak pada formulasi permasalahan yang berasal dari industri-industri. Para manajer, insinyur, dan operator terlibat. Perangkat-perangkat eksperimen disesuaikan dengan apa-apa yang secara aktual dioperasionalkan di industri. Model-model di-update terus-menerus dengan menggunakan data historis plant-plant industrial. Intinya, pendekatan ini berprinsip learning by making dan learning from using. Namun pendekatan inipun memiliki persoalan: para pelaku industri tidak mengutamakan Iptek yang lebih maju. Keputusan mereka dipengaruhi oleh berbagai faktor: keputusan bisnis para manajer, tawaran produk-produk dari perusahaan pabrikan, misi pemerintah (bagi BUMN) dan perilaku konsumen. Teknologi baru bisa menjadi beban bagi mereka. Karena ini, para akademisi yang mencoba terus meneliti berdampingan dengan industri, menemui kesulitan dalam pengembangan Iptek, dan akhirnya terseret ke ritme trouble-shooting gaya industri. Jadi, meski pada prinsipnya kemajuan dan kemanfaatan Iptek dapat dipertemukan dan saling mendorong, tetapi ini selalu melibatkan kompromi.

Dalam sistem ekonomi yang sepenuhnya dikendalikan pemerintah, pengelolaan industri ditentukan melalui keputusan-keputusan politik, seperti yang dilakukan Cina dalam era 1970-an. Persoalan bagi sistem ini yaitu kompetisi, variasi dan seleksi atas Iptek. Hanya iptek tertentu yang dipilih pemerintah yang berkembang. Pelaku iptek juga terbatas pada lingkungan kerja pemerintahan. Dalam ekonomi yang dihela melalui mekanisme pasar, perkembangan industri dipengaruhi oleh keputusan para pelaku pasar. Memang kompetisi & variasi akan muncul, tapi tetap saja pasar tidak dapat mempromosikan iptek secara efisien.
Satu pertanyaan lain yang menarik diajukan: bagaimana negara-negara Barat berindustri maju bisa menjadi negara maju? Padahal dalam sejarahnya, bangsa Eropa di zaman Kegelapan terbelakang dan tertinggal dalam peradaban. Menurut KK, katalisator perubahan yang revolusioner di Eropa, Renaissance, bukanlah Iptek. Pada masa itu iptek belum ada, jadi tak mungkin menjadi faktor perubahan. Iptek modern lahir dalam Renaissance melalui serangkaian polemik dan perdebatan seputar siapa manusia, apa hubungannya dengan Tuhan, apa itu pengetahuan manusia, bagaimana pengetahuan diverifikasi, dsb. Ia lahir dari pertarungan nilai & ideologi sebagai sebuah paradigma tentang dunia, yang mengobati situasi ideologis yang represif di Era Kegelapan. Melalui Renaissance, posisi manusia naik peringkat dari mahluk berdosa yang dibuang dari Surga, menjadi Second Creator. Hal yang menarik dari Renaissance ialah bagaimana Iptek diintegrasikan ke dalam ideologi dan kebudayaan bangsa Eropa sehingga iptek menjadi bagian dari ‘keimanan’ mereka, bagian penting dari world view para skolar, filosof, politisi, penguasa, pengusaha, juga masyarakat awam. Setelah Iptek mendarah daging dalam ideologi dan kebudayaan Eropa, barulah iptek berkembang dan mewujud material melalui industrialisasi. Memetik pelajaran dari Renaissance Eropa, kemajuan dan kemanfaatan Iptek perlu diletakkan sebagai bagian dari kebudayaan agar menyentuh makna hal-hal praktis maupun idealis, temporal maupun kekal, individual maupun sosial.
Lalu bagaimana posisi iptek di Indonesia? Selama Iptek masih bermakna instrumental—sebagai faktor produksi, atau bermakna simbolis—sebagai lambang kemajuan, maka kemajuan dan kemanfaatan Iptek tidak akan berjalan kontinu dan intensif. Karena itu tantangan kita adalah mereposisi Iptek sehingga menjadi bagian dari kebudayaan. Masyarakat akademik bersama dengan masyarakat perlu terlibat dalam polemik dan perdebatan untuk membangun makna tentang alam, masyarakat dan manusia, dan hubungannya dengan agama dan Tuhan. Kemanfaatan iptek juga harus terus diupayakan dengan menemukan pola interaksi akademisi-bisnis-pemerintah yang sesuai. KK menekankan tentang perlunya perguruan tinggi menjadi the agent of knowledge itu sendiri.

Komentar

Popular Posts

Mozaik Bandung: Liburan yang Kacau & Jalan Panjang ke Pondok Hijau

Mencapai Impian dalam Mengelola Keuangan Secara Efektif dan Efisien

Puisi Sapardi, Acep Zamzam, & Bulu Kuduk [Wishful Wednesday #2]