Sekelumit Maryamah Karpov
My review
rating: 3 of 5 stars
Kalau Edensor bercerita tentang tantangan menjelajah berbagai belahan dunia, Maryamah Karpov bercerita tentang tantangan besar menemukan cinta. Kiranya seperti itulah gambaran Maryamah Karpov secara global. Meski, sampai setengah pertama novel sebenarnya cerita masih belum fokus akan dibawa kemana. Kalau boleh, bisa dikatakan bahwa sampai setengah bagian pertama tebal novel ini isinya masih berupa pengantar atau introduction untuk setengah bagian cerita berikutnya. Seperti dalam novel sebelumnya, cerita memang disuguhkan dalam bentuk kepingan-kepingan mozaik. Rangkaian mozaik-mozaik secara keseluruhan menggulirkan kronologis kisah sejak Ikal menjalani sidang magisternya di Universitas Sorbonne, lalu pulang ke kampungnya di Belitong, dan menganggur. Dalam masa pengangguran itulah petualangan cinta itu terjadi. Latar belakang budaya multietnis yang unik di Belitong yang dimunculkan Andrea menghiasi sepanjang kisah. Tapi bagi saya pribadi, cerita baru mulai menarik saat tantangan besar menemukan A Ling dimulai dengan ditemukannya jenazah-jenazah orang Ho Pho bertato kupu-kupu di laut. Tato itu menjadi clue pertama untuk mencari keberadaan A Ling, entah hidup atau mati. Kekuatan cinta kemudian membawa Ikal pada tekad untuk menemukan A Ling, atau setidaknya menemukan kabar yang jelas tentangnya, kabar buruk sekalipun. Hasil analisisnya mengacu pada Pulau Batuan. Tapi tekad itu diuji dengan berbagai tantangan besar dan berbahaya yang sepertinya tidak mungkin dapat dilakukan oleh Ikal. Berbagai kesulitan menimpa Ikal mulai dari harus membuat perahu sendiri, kesulitan mendapatkan bahan kayu, ancaman badai laut dalam pelayaran, sampai keterlibatan dukun setengah siluman Tuk Bayan Tula, legenda Dayang Kew, dan bahaya Pulau Batuan itu sendiri yang dikuasai perompak laut berbahaya yang dipimpin Tambok yang ditakuti. Konon Tamboklah yang bertanggungjawab terhadap pembantaian keluarga Ho Pho yang hendak berlayar ke Singapura itu. Tak ketinggalan pula ejekan pedas yang harus diterima Ikal dari sana-sini, menjadi bahan tertawaan, serta tekadnya yang selalu menjadi bahan taruhan orang-orang atas betapa tak mungkinnya tekad itu terwujud. Dalam berbagai kesulitan yang membuatnya pesimis, kawan-kawan lama Ikal dalam Laskar Pelangi muncul kembali membantunya. Lintang muncul kembali dengan ide-ide cerdasnya dari perspektif sains, dan Mahar tentu dengan ide gilanya dari perspektif perdukunan ilmu hitam. Kisah menjadi menarik karena berkembang menjadi kisah petualangan dengan berbagai masalah yang dipecahkan oleh analisis, baik secara sains melalui ide-ide Lintang tentang aerodinamika, analisis informasi teknikal pembuatan perahu, sampai pertimbangan teknis kondisi pelayaran beserta informasi sejarah bajak laut Selat Malaka. Terlepas dari keabsurdannya jika dipandang sebagai karya nonfiksi (penerbitnya menyebut karya ini sebagai genre cultural literary nonfiction), sebagai fiksi novel ini cukup ‘terselamatkan’ dengan adanya konflik yang ternyata baru muncul belakangan lewat tantangan-tantangan tersebut.
View all my reviews.
Komentar
Posting Komentar
Tinggalkan jejakmu kala mampir di sini