Cuap-cuap tentang The Kite Runner

" The best book I've ever read". Aku ingat menuliskan kalimat tersebut segera setelah tuntas kubaca buku ini. Sedikit berlebihan, memang. Jadi mungkin lebih tepat jika diubah sedikit menjadi, "one of the best books I've ever read". Tapi itu tidak terlalu penting. Itu hanyalah sebuah ungkapan subjektif, meski seringkali hal-hal subjektif juga menjadi penting bagi sebagian orang.

"Impressive!" Itu ungkapan subjektifku yang disederhanakan. Oh, oke... kenapa soal ungkapan menjadi begitu penting untuk dibahas? Bukan masalah penting-tak penting sebenarnya, tapi masalahnya aku sedang ingin bermain kata-kata. Jadi maklumilah, aku sedang ingin menari... seberapa kaku atau gemulai tarian kata-kataku, itu bukan hal yang sedang kupedulikan. Jadi, kembali ke topik, sampai mana tadi... Ah, ya. Impressive...

Nah, mengapa buku ini impressive buatku, itu lebih penting. Baiklah, harus kuakui ungkapan "impressive" sebenarnya mengungkapkan lebih dari sekadar ungkapan mengesankan, karena sebenarnya ia mengungkapkan pula identitas kesan itu sendiri. Oh, oke... mungkin aku keterlaluan, bermain kata-kata sampai begini berputar-putar. Kurasa itu efek yang terbawa setelah aku membaca Dunia Sophie. (haha, ga lucu!). Sekarang, aku harap aku ga akan njelimet lagi, semoga.

The Kite Runner berkisah tentang persahabatan, persaudaraan, pengkhianatan, kepedihan... yang dibingkai dengan jalinan kisah traumatis masa lalu berl`tah)Afghanistan. Mengingat kisah The Kite Runner mengingatkanku pada pemikiran Sigmund Freud (ini juga aku baca di Dunia Sophie lagi!), seorang psikoanalis terkemuka pada masanya yang mengabdikan diri dalam praktik psikoterapi. Setiap peristiwa yang kita alami seluruhnya terekam dalam memori otak kita. Sebagian sering muncul ke permukaan, sebagian lagi--dan lebih banyak-- tersimpan di alam bawah sadar. Nah, kata Freud, semakin seseorang memendam jauh-jauh pengalaman atau pikiran tak menyenangkan (simpelnya, pengalaman traumatis) yang berupa dorongan ego yang dibenci-- dorongan yang tidak pantas diterima menurut kesadaran--sehingga superego ingin membuangnya jauh-jauh, justru semakin ditekan semakin kuat memori itu untuk muncul ke permukaan. Itulah yang terjadi pada Amir, tokoh utama dalam The Kite Runner. Meski, teori Freud sebetulnya lebih diasosiasikan pada memori yang bersifat seksual, sesuai kasus yang banyak terjadi pada masanya.

"Untukmu, yang keseribu kalinya". Kalimat tulus Hasan itu masih jelas terekam oleh Amir. Kesetiaan Hasan terhadap Amir memang tak usah diragukan lagi. Tapi bagi Amir, kenyataan itu justru membuatnya semakin dihantui rasa bersalah yang terus membayangi selama hidupnya. Bayangan pengalaman traumatis masa kecil itu kerap muncul di benak Amir, bahkan setelah bertahun-tahun berlalu dan bermil-mil jauhnya dari negeri masa kecilnya, Afganistan. Hingga dewasa Amir tak bisa memaafkan dirinya sendiri atas pengkhianatannya terhadap Hassan.

Jalinan kisah yang dirangkai oleh Khaled Khosseini memang mengesankan. Banyak sekali pilihan kalimat yang membuat keutuhan cerita semakin kuat. Latar belakang yang membangun image para tokoh pun dikemas sedemikian rupa dengan detail sehingga memperkokoh bangunan cerita. Kilasan-kilasan penggalan kisah yang menjadi kenangan Amir pun semakin membuat emosi pembaca tersentuh. Suatu contoh, bagaimana Hassan kecil pernah mengancam untuk menembakan ketapelnya ke mata Assef saat membela Amir, lalu bertahun-tahun kemudian Sohrab, anak Hassan benar-benar melakukannya karena tak tahan melihat Assef menyiksa Amir saat berada di markas Taliban.

Banyak sekali konflik batin yang melanda Amir yang menarik dikaji secara psikologis. Latar belakang hubungan ayah-anak yang renggang, rasa minder hingga rasa iri dan menyalahkan diri sendiri yang menyulut tindakan jahat yang justru membuat diri sendiri semakin tak tentram. Tak hanya konflik psikologis yang membangun kisah kehidupan Amir yang berhasil dirangkai dengan indah, Khosseini juga berhasil menggambarkan latar belakang negeri Afganistan yang terkoyak oleh perang, beserta latar budaya masyarakatnya yang multietnis. Isu kemanusiaan yang terkoyak dalam kondisi perang juga berhasil menyentuh emosi kala membaca karya novel ini. Tak kalah menariknya konflik psikologis anak-anak yang melanda Sohrab, yang menjadi korban perang dan harapannya untuk mendapat perlindungan yang kerap terkecewakan akibat kondisi negeri yang rumit.

Lewat karyanya ini, Khosseini menginspirasikan kearifan dalam memandang kehidupan. Kesalahan Amir memang sangat besar, tapi bukan berarti ia harus senantiasa menyalahkan diri sendiri. Selalu ada jalan untuk membuka lembaran baru kehidupan. Pada akhirnya, lewat perjuangan panjangnya menolong Sohrab, kita dapat melihat citra pribadi Amir pun berubah. Karya ini juga memperingatkan kita untuk bijak dalam memperlakukan anak-anak, karena sadar atau tanpa disadari, sikap orang tua memberikan dampak penting bagi kondisi psikologis anak.

Buatku pribadi, rugi kalau tak baca karya sebagus ini. Tentu tak semuanya sempurna. Ada bagian tengah kisah yang menceritakan Amir dewasa dan ayahnya di San Fransisco, yang menurutku membosankan karena ceritanya kurang fokus, semacam gambaran kehidupan Amir saat itu namun membuatku tak sabar menyimaknya.

Lihat ringkasannya disini

Banyak juga kalimat dalam novel ini yang mengesankan buatku. Diantaranya berikut ini, yang aku kopas dari versi English-nya aja yang udah ada ^_^'.

"For you, a thousand times over."

"Children aren't coloring books. You don't get to fill them with your favorite colors."

"When you kill a man, you steal a life. You steal a wife's right to a husband, rob his children of a father. When you tell a lie, you steal someone's right to the truth. When you cheat, you steal the right to fairness. There is no act more wretched than stealing."

"Every woman needed a husband, even if he did silence the song in her."

"Men are easy,... a man's plumbing is like his mind: simple, very few surprises. You ladies, on the other hand... well, God put a lot of thought into making you."

"...and every day I thank [God] that I am alive, not because I fear death, but because my wife has a husband and my son is not an orphan."

"...there is a God, there always has been. I see him here, in the eyes of the people in this [hospital] corridor of desperation. This is the real house of God, this is where those who have lost God will find Him... there is a God, there has to be, and now I will pray, I will pray that He will forgive that I have neglected Him all of these years, forgive that I have betrayed, lied, and sinned with impunity only to turn to Him now in my hour of need. I pray that He is as merciful, benevolent, and gracious as His book says He is.".

Komentar

Popular Posts

Novel Milea: Suara dari Dilan

Mozaik Bandung: Liburan yang Kacau & Jalan Panjang ke Pondok Hijau

Review Sunscreen N'PURE Cica Beat the Sun