Hargailah Karya Sendiri

Baru-baru ini aku mendapatkan sebuah kabar yang membuatku senang sekaligus menyesal. Pagi itu sebuah sms masuk, nomornya tak dikenal. Setelah dibuka, ternyata dari panitia sebuah lomba yang aku ikuti pada bulan Ramadhan kemarin. Pertamanya aku heran, ada apa ya? Kan acaranya sudah lama berlalu, lagipula jelas-jelas aku tidak menang kaligrafi. Selanjutnya aku semakin heran karena itu adalah ucapan selamat. Lanjut lagi, ternyata… menang puisi. O, menang puisi? Ya ampun, baru ngeh deh. Puisi yang tak henti2 aku caci-maki itu? Puisi yang sesaat setelah selesai mengetik dan membaca ulang, langsung aku bilang, “Ih, naon ieu teh? ini puisi aneh, ga jelas, jelek… bla…bla….”.

Masih ingat pada waktu itu aku bertekad ingin mengirimkan puisi, meskipun pada kenyataannya entah kenapa setiap kali akan menulis ataupun mengetik, ga ada inspirasi yang nyangkut sama sekali. Selama bulan ramadhan aku memang tak berhasil membuat 1 puisi pun yang bertemakan ramadhan, ya, kecuali puisi yang satu ini yang kubilang aneh. Heran deh. Itu sebabnya sampai dekat2 deadline pengiriman puisi juga belum satu baris pun kata yang berhasil aku toreh dan membuatku puas. Malam sebelum hari H lomba, aku malah sibuk mempersiapkan buat kaligrafi. Sama sekali belum juga aku membuat puisi, padahal deadlinenya besok. Paginya, beberapa menit sebelum teng-nya acara, aku uring-uringan. Karena sudah bertekad ingin mengirimkan, ya sudah lah aku sempatkan ngetik sebelum berangkat. Dalam keadaan kejepit, ada juga bait-bait yang berhasil nongol di monitor. Tapi itu dia, kupikir jadinya uaneh pol! Tapi da gimana lagi, yang penting ngirimin deh. Sambil mencaci-maki tuh puisi dalam hati, aku bertekad tak mau baca lagi, aneh sih… Ih, segitunya ya? Bahkan aku tak menyimpan baik-baik file puisi itu, hanya disimipan di flash disk, trus kena virus, dan sekarang entah kemana rimbanya… Padahal biasanya sejelek apapun karya yang kubikin, aku masih suka berbaik hati menyimpannya baik-baik. Kok mendadak aku kejam begini, tau deh.

Dan sekarang, itulah yang membuatku menyesal. Dicari-cari file-nya tak ketemu. Ya sudah lah, tinggal kenangan. Hanya saja ironis sekali, puisi yang aku campakkan begitu saja, yang aku cela habis-habisan, ternyata… dia yang meninggalkan jejak lebih dari puisi-puisiku yang lain. Dia yang, ketika aku terserang kanker (baca: kantong kering, hehe…), menjadi jalan rejeki yang tak terduga. Karena dia juga, satu keinginanku terkabul: Beli buku baru! Sudah lama aku ingin beli Laskar Pelangi. Memang payah dan ketinggalan sekali rasanya sampai saat ini baru baca novel ini. Bukan apa-apa, kalau hanya ingin membaca, temanku punya, tinggal pinjem. Tapi aku sudah bertekad bahwa buku bagus yang satu ini harus masuk daftar koleksiku, meski harus nunggu. Begitulah, senang rasanya sekarang aku sudah memiliki dan mulai membacanya. Dan semua itu gara-gara puisi yang aku caci-maki!

Satu pelajaran moral yang aku ambil dari pengalamanku: Jangan suka mencela! Apalagi mencela karya sendiri. Kalau bukan kita sendiri yang mau menghargainya, siapa lagi? Sejelek apapun, toh kita harus bersyukur karena masih bisa berkarya. Setidaknya kita tidak menjiplak karya orang! Benci deh sama orang yang suka ngejiplak seenaknya.

Ayo cintai produk dalam negeri! Hehe… nyambung! Tapi yang bener2 produk dalam negeri. Sebel juga kan banyak produk dalam negeri yang ternyata cuma jiplakan dari luar. Please deh… kreatif dikit napa sih?

Komentar

Popular Posts

Mozaik Bandung: Liburan yang Kacau & Jalan Panjang ke Pondok Hijau

Mencapai Impian dalam Mengelola Keuangan Secara Efektif dan Efisien

Puisi Sapardi, Acep Zamzam, & Bulu Kuduk [Wishful Wednesday #2]